Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Senin, 08 Januari 2018

"BUKIT CUMBRI"

Matahari mulai terbenam di ufuk senja. Sepertinya ini terlalu sore, pikir saya senja itu. Sementara dari balik handphone berkali-kali telepon masuk dari Ali (@alisaifudin_) yang tidak sempat saya angkat. Hari itu saya disibukkan dengan job dari pagi hingga sore hari. Azan maghrib berkumandang, terdengar dari masjid-masjid di Kota Malang. Matahari semakin menutup diri. Saya memutuskan segera pulang ke kos untuk membersihkan diri, packing, dan bersiap-siap untuk berangkat untuk menjemput Ali di Krian, Sidoarjo.

Perjalanan ini saya mulai dari Kota Malang dengan beberapa lelah bercampur kantuk yang masih berkecamuk di dalam diri. Selepas maghrib saat jalanan di kota ini mulai lengang, saat wajah-wajah lelah para pencari kerja mulai merindukan keluarganya di rumah, saya berangkat menuju rumah Ali. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB saat saya melihat wajah ceria Ali di dekat rumahnya.

Belum lama berkendara di atas motor, hujan tiba-tiba membasahi jalanan yang masih penuh dengan kepul asap kendaraan. Kami berhenti sejenak, mencari musholla untuk melaksakan kewajiban sholat Isya sambil menunggu hujan reda. “Berangkat jam berapa, Mas?” Saya lihat HP Ali menyala dengan sebuah chat atas nama Mas Jalod (@jal_od). Ya, Mas Jalod adalah kawan baru yang akan kami kunjungi di Kota Ponorogo sana yang kami kenal melalui Instagram. Di bayangan saya mendengar nama Jalod adalah seseorang anak kota yang keren berwajah tua dan galak, saya menerka-nerka saja dan semoga tebakan saya itu keliru.

Satu jam berlalu, pukul 21.30 WIB hujan berhenti. Jalanan tampak ramai lagi oleh kendaraan-kendaraan berplat W milik Sidoarjo. Dan ini menandakan bahwa kami harus berangkat lagi menempuh perjalanan 190 Km. Mungkin perjalanan ini akan terasa melelahkan, tapi saya percaya satu hal bahwa sebuah destinasi yang indah selalu butuh usaha yang melelahkan pula. Dan semoga saat tiba disana kalimat itu benar adanya.

Baru 45 menit berlalu rasa kantuk sudah menyerang saya. Ali yang sedari tadi saya bonceng saya pastikan tidak mengantuk untuk bergantian membonceng saya. Bukannya tambah mengantuk saat dibonceng, adrenalin saya rasanya terpacu dengan kecepatan motor yang dikendalikan oleh Ali. Saya was-was dan takut apalagi jalanan di sepanjang kota Jombang menuju Madiun sedikit sekali penerangan, ditambah lagi banyak truk-truk besar, dan banyak lubang yang tidak terlihat oleh lampu-lampu kendaraan. Perasaan saya benar, 15 menit mengendarai motor, kami mengenai lubang besar di jalanan, ban belakang saya tiba-tiba kempes. Ini pasti bocor, begitulah pikiran saya saat itu. Untungnya ali bisa mengendalikan motor sehingga tidak terjatuh dan pelan-pelan menepi ke pinggir jalan.

10-15 menit berikutnya kami habiskan untuk mencari tambal ban. Siapa juga tukang tambal ban yang buka jam segini? Batin saya berkecamuk sendiri. Untungnya di salah satu tambal ban yang tutup terdapat nomor telepon yang bisa saya hubungi. Kami berada disana sejenak sambil istirahat hingga pukul 23.30 WIB. Lama? Iya ban belakang saya sobek dan bocor agak banyak. Mungkin ini salah satu cara Tuhan agar kami beristirahat sejenak.

Pukul 03.00 kami sampai di Ponorogo dan saya kabari Mas Jalod melalui WA. Kami dijemput dan setengah jam kemudian kami sampai di rumahnya setelah melewati jalanan yang gelap tanpa lampu, berlubang, dan sepi. Saat sampai di rumahnya barulah saya bisa mengetahui wajah Mas Jalod secara detail. Dugaan saya sebelumnya tak ada yang benar dan berbeda 180 derajat. Mas Jalod adalah pemuda berkulit putih yang perawakannya ideal dengan tinggi rata-rata.

Rumahnya sederhana, beberapa tampak belum jadi. Di depan ada gundukan pasir. Saat saya tanya untuk apa, ternyata untuk bahan baku membuat batako. Kami istirahat di ruang tengah, suguhan kopi yang diberikan tak kami minum. Kami mengantuk berat. Tidur sejenak dan harus bangun lagi 04.30 WIB untuk menuju destinasi yang ingin kami kunjungi. Bukit Cumbri. Kami akan datang.

       “Mas, bangun mas. Ayo berangkat” suara itu membangunkan kami. Saat saya melihat jam ternyata sudah pukul 04.30 WIB. Kami pun segera bersiap-siap lalu berangkat beberapa menit kemudian.

        Pagi masih gelap dan dingin. Motor kami menerabas ke sawah-sawah dan jalanan berbatu. Sepertinya ini jalan pintas, pikir saya. Setengah jam kemudian kami sampai di Bukit Cumbri, Wonogiri, Jawa Tengah. Kami parkir sepeda. Saat saya ajak untuk naik bersama, Mas Jalod dan temannya Mas Tesar menolak. “Maaf mas, kami belum tidur semalaman menunggu mas datang.” Katanya dengan disertai wajah yang teramat mengantuk. Saya yang kasihan mengiyakan dengan perasaan agak bersalah. Sayang sekali, kami tidak bisa berfoto bersama.

         Kami (aku dan Ali) menaiki bukit untuk menuju puncak. Batu-batuan kapur berwarna putih kecoklatan menyambut kami. Pohon-pohon hijau di sekitarnya tampak melambai-lambai agar kami segera naik. 20 menit kemudian kami sudah di puncak Cumbri. Kami kaget. Monyet-monyet melompat kesana kemari. Untungnya monyet-monyet ini tidak buas.

       
Sunrise di Bukit Cumbri
      Tidak lama kami berada di puncak Matahari di Timur tampak memesona. Guratan langit berwarna kemerahan seolah mengatakan bahwa selain melelahkan bahagia bisa didapatkan dari hal-hal yang sederhana, melihat matahari terbit di puncak cumbri, misalnya. Sungguh indah. Bukit-bukit tampak berbaris di selatan, sebagian tinggi sebagian rendah seperti gelombang panjang yang saya pelajari sewaktu SMA. Lebih jauh lagi ke selatan tampak pula bukit-bukit berwarna biru yang tampak memesona dengan kabut tipis. Ke utara sedikit matahari merekah kemerahan. Di bawah bukit-bukit itu tampak tumbuhan hijau dimana-mana dan beberapa pemukiman warga. Dari atas sini kami bisa melihat perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, Ponorogo dan Wonogiri.

Salah satu monyet yang habis saya lempari roti

       2 jam kami habiskan untuk memotret pemandangan disana. Beberapa kali monyet-monyet mendekat saat saya beristirahat dan makan roti. Saya tahu mereka pasti lapar. Saya lempari beberapa cuil roti sampai habis. Sebagian yang tak mendapat roti terlihat kesal, tapi tak sampai menjadi buas. Lain kali kalau saya datang lagi, akan saya bawakan makanan untuk mereka.

tampak Ali berdiri di atas batu

Ali berdiri lebih tinggi

lelah, akhirnya Ali memutuskan untuk duduk

Saya juga lelah, akhirnya duduk juga motret kaki

         Kamipun menuruni bukit. Lelah kami terbayar dengan keindahan yang tak akan mampu dibayar dengan harga berapapun. Lukisan Tuhan yang sungguh luar biasa. Saat kami tiba di parkiran sepeda Mas Jalod dan Mas Tesar masih tertidur pulas. Kami membangunkannya perlahan. Mengopi, makan gorengan tempe, juga mengobrol sejenak.

         “Tiga ribu mas per sepeda” kata bapak tukang parkir. Dari situ saya paham bahwa menuju ke bukit cumbri begitu murah, tanpa tiket masuk. Hanya membayar parkir saja. Setelah membayar kamipun kembali menuju rumah Mas Jalod.

         Di perjalanan menuju rumah Mas Jalod kami berhenti sejenak di warung makan. 4 piring penuh nasi dan sayur pecel terhidang di depan kami disertai 2 tempe daun per piringnya. Tempe daun adalah tempe yang difermentasi dengan cara dibungkus menggunakan koran ataupun daun. Tempenya tipis namun sangatlah besar dan lebar. Digoreng dengan tepung dan saat dimakan akan terasa bunyi “kriuk”. “Berapa ini mas satu piring?” saya bertanya penasaran karena melihat begitu banyak satu porsi. “3 ribu mas” kata Mas Jalod santai sambil makan pecel. “Murah ya, Mas?” katanya lagi memastikan. Bukan hanya murah, bahkan saya tidak habis memakannya. Lihatlah terlalu banyak hingga perut saya tidak kuat.

        Setelah sarapan kami kembali menuju rumah Mas Jalod, membersihkan diri, beristirahat sejenak, dan bersiap-siap berangkat lagi siang nanti menuju ke Karanganyar, Jawa Tengah. Akan saya ceritakan di Judul yang lain agar tulisan ini tidak terlalu panjang. Terimakasih sudah membaca.