Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Senin, 14 Mei 2018

"Mengenali Jodoh"


Bulan Mei, 2016
Saya membaca dengan saksama, penuh perenungan dan sesekali meneteskan air mata. Tulisan di blog itu sukses membuat saya tertampar sebagai lelaki karena saat itu saya berada pada posisi yang cukup galau. Saya baru saja patah hati dan kebetulan menemukan bacaan yang tanpa sengaja membuat saya kembali menatap ke depan. Blog itu ditulis oleh Mbak Ghea, saya tidak tahu siapa dia tapi kisah yang ditulisnya mengharukan sebab ditulis berdasarkan pengalaman pribadi yang teramat inspiratif.

Konon, Mbak Ghea waktu itu berumur 20 tahun dan sedang dekat dengan seorang lelaki kurang lebih 5 tahun lamanya. Dekat tapi tidak pacaran, dekat tapi tidak bersentuhan. Begitu kiranya saya memahami prinsip Mbak Ghea dalam menjalin hubungan. Dari kisahnya mereka agaknya cocok satu sama lain, sering bertukar pikiran, memiliki kesamaan dalam beberapa hal, dan tentu memiliki kedekatan yang spesial jika dibandingkan dengan lelaki yang lain.

Namun badai datang tak pernah dikira, hujan turun tak sekalipun diminta, Mbak Ghea tiba-tiba dilamar oleh orang lain yang sama sekali menurut perhitungannya tak pernah dikenalnya, Mas Hanif namanya. Lelaki itu tiba-tiba menyampaikan maksud untuk mendatangi orang tuanya. Mbak Ghea bingung, jelas, itu bukan perkara mudah apalagi ketika dihadapkan dengan dua pilihan perihal jodoh.
Satu bulan setengah berlalu semenjak maksud baik Mas Hanif, akhirnya Mbak Ghea memberikan lampu hijau setelah melalui proses panjang, doa-doa juga istikharah yang berkali-kali. Saya tidak akan menceritakan ulang prosesnya karena saya justru takut akan mengurangi kisah inspiratif di dalamnya, maka lebih baik dibaca langsung dari blog penulisnya di link berikut : https://gheasafferina.blogspot.co.id/2016/04/newchapter-01-begining-of-everythings.html

Semenjak membaca tulisan itu saya menjadi sadar satu hal bahwa yang bertahan berlama-lama bersama kita belum tentu menjadi seseorang yang bertahan menjadi jodoh kita. Cinta yang indah, seperti kata Mbak Ghea, adalah cinta yang dibangun bersama sesudah akad bukan sebaliknya. Kebanyakan kita terlalu sering mencintai orang lain tapi tidak berani mengutarakan maksud baik kepada orang tunya, saya sendiri sadar itu, dan benar perempuan sejatinya butuh kepastian bukan cinta mati-matian saja. Kita barangkali hanya perlu menjemput takdir dengan ikhtiar-ikhtiar bukan menunggu apalagi mendahului dengan menjadikan orang lain kekasih sebelum menikah. Kita hanya cukup percaya dan berusaha, bahwa diantara seperempat milyar manusia di Indonesia salah satunya pasti jodoh kita.

14 Mei 2018
Beberapa bulan lalu saya mengajukan diri ke Mas Hanif agar bisa magang di rumahnya untuk belajar fotografi dan videografi pernikahan. Hitung-hitung sebagai pengalaman dan mencari kesibukan sebelum datang kesibukan lain jelang sidang kuliah saya pertengahan tahun ini, juga tentu agar bisa kenal secara langsung bukan hanya tahu cerita inspiratifnya melalui tulisan saja. Saya pun diterima dengan baik oleh Mas Hanif dan Mbak Ghea. Waktu itu Mbak Ghea masih hamil 7 bulan namun masih tetap sibuk bekerja membantu Mas Hanif di beberapa acara pernikahan. Kalau ada sosok inspiratif yang bisa mengilhami banyak perempuan selain Kartini mungkin Mbak Ghea adalah perempuan itu. Semangat dan kegigihannya sungguh patut diteladani.

Pagi ini saya mengunjungi rumah Mas hanif dan Mbak Ghea untuk bersilaturahmi sekaligus menjenguk Kafa, bayi laki-laki mungilnya. Tidak terasa dua tahun berlalu semenjak pertama kali saya membaca kisah jelang pernikahan mereka di blog Mbak Ghea. Rasanya mustahil untuk kenal mereka tapi tidak disangka kini menjadi akrab seperti memang sudah kenal lama saja. Karena sosok mereka berdua selain lucu, memang Humble dan mudah sekali akrab dengan orang lain.

Foto bersama Rizal, Kafa, dan Mas Hanif

“Assalamualaikum” tiga kali saya dan Rizal, kawan saya, mengetuk pintu rumahnya dan kemudian dipersilakan masuk oleh Mas Hanif ke ruang tamu di lantai satu. Pagi ini rambutnya tampak berantakan namun sambutan dan keramahannya tetap saja selalu rapi, sebuah ciri khas yang selalu ditunjukkan olehnya. “Masih sibuk edit foto di atas” katanya saat saya tanya sedang sibuk melakukan apa kok rambutnya acak-acakan. Sejurus kemudian Mas Hanif naik ke atas dan turun lagi menggendong Kafa, anaknya. Aih, lucu sekali, rambutnya gundul dan pipinya mumpluk menggemaskan. Bayi itu murah senyum dan tidak mudah menangis jika dibandingkan dengan bayi lain seumurannya.

Foto bersama Mbak Ghea, Mas Hanif, Kafa, dan Rizal

Tidak lama kemudian, Mbak Ghea turun membuatkan minuman lalu duduk di samping Mas Hanif, sementara Kafa bergantian dipangkuan saya dan Rizal. Kami mengobrol ke sana sini sebelum pada akhirnya memfokuskan obrolan mengenai jodoh dan pernikahan. Untuk pertama kalinya saya mendengar langsung kisah yang pernah saya baca dua tahun lalu, kisah yang seringkali saya share kepada teman-teman saya saat mereka galau, kisah haru yang pernah membuat saya terinspirasi, karena sejak membaca kisah itu sedapat mungkin saya tidak lagi memegang perempuan yang bukan mahram, semenjak merenungi kisah itu saya juga sebisa mungkin tidak lagi berboncengan dengan perempuan lain selain yang memang dihalalkan untuk saya. Kisah itu sedikit banyak mengubah hidup dan prinsip saya perihal perempuan dan percintaan. Kisah itu sungguh berkesan bagi saya dan beruntungnya bisa mengenal mereka berdua.

“Sebenarnya jodoh itu seperti apa sih Mas Mbak? Apakah ketika kita berada di dekatnya merasa aman, nyaman, tenang apakah itu jodoh kita?” Saya memulai obrolan serius itu setelah sebelumnya membicarakan banyak hal mengenai bayi dan proses persalinannya yang bagi kami (saya dan Rizal) itu masih terlalu jauh dan visioner, apalagi mengingat kami masih hendak lulus kuliah. Obrolan sebelumnya memang penting tapi ada yang jauh lebih penting dari itu, jodoh. Membicarakan tentang jodoh sejatinya adalah membicarakan pilihan-pilihan mengenai sosok ibu atau bapak seperti apa yang akan kita hadirkan di masa depan nanti untuk anak kita dan jelas itu teramat penting. Sekali salah pilih orang, bisa berantakan hidup satu keluarga. Barangkali benar kata Kartini, ibu atau bapak yang baik akan melahirkan anak yang baik pula.

Mas Hanif membenarkan tempat duduknya dan mulai serius. “Belum tentu begitu, jodoh itu sebenarnya adalah hasil dari usaha-usaha kita selama ini, kalau kita memang serius mencari yang baik dan berbuat baik InsyaAllah juga akan mendapat yang baik pula.”

Mas Hanif kemudian menceritakan kisah yang mungkin belum ditulis Mbak Ghea di blognya. Sebelum melamar Mbak Ghea, katanya, dia sudah mengalami penolakan lamaran pernikahan selama tujuh kali. Mas Hanif memulai lamaran pertamanya sejak masih kuliah semester empat. Cukup mengejutkan memang, apalagi bagi saya yang sudah semester akhir dan belum melamar siapapun. Ah itu soal lain. Usaha-usaha dan penolakan itu lah yang pada akhirnya mempertemukan Mas Hanif dan Mbak Ghea dalam penerimaan yang baik oleh semesta.

Sesekali Mbak Ghea juga menyela “Lha yo iki sopo seh kenal yo enggak kok moro-moro ngelamar aku?” (“Lha iya ini siapa sih, kenal juga tidak kok tiba-tiba melamar aku”), dan jelas kalimat itu disambut tawa kami berempat. Tapi justru dari ketidak kenalan itu Mbak Ghea jadi penasaran dengan Mas Hanif. Satu poin yang saya ambil dari Mas Hanif, menjadi misterius memang perlu.

Saya yang cukup penasaran melanjutkan pertanyaan berikutnya “Lalu bagaimana mengenai istikharah yang seharusnya dilakukan untuk memastikan bahwa seseorang itu benar-benar jodoh kita?” pertanyaan ini cukup penting karena setelah berusaha sedemikian rupa maka langkah selanjutnya adalah memastikan dan memasrahkan pilihan kita kepada Allah semata.

“Istikharah bermacam-macam bentuknya, kalau saya dan Mas Hanif dulu melalui istikharah Al-Quran, yaitu dengan cara kita sholat dulu lalu berdoa kepada Allah kemudian membuka Al-Quran secara random, lalu buka lagi 7 halaman setelah bukaan pertama itu, kemudian kita cek ayat yang ke 7 dari atas. Kebetulan waktu itu saya dapat surat an-nur ayat 32 yang berisi tentang perintah pernikahan dan ajaibnya ayat itu sama dengan yang ditunjukkan Mas Hanif ketika istikharah. Namun ketika saya melakukan istikharah untuk seseorang yang dekat dengan saya selama 5 tahun jawabannya dari Al-Quran adalah mengenai larangan-larangan berbuat sesuatu” Kali ini Mbak Ghea yang menerangkan kepada kami sebelum Mas Hanif yang menambahkan. Saya dan Rizal serius menyimak pembahasan ini.

“Jawaban istikharah tidak selalu melalui mimpi atau seperti kata Ghea tadi, jawaban istikharah bisa juga melalui tanda-tanda alam, misal ketika ikut pengajian si ustadz membahas masalah pernikahan dan perintah agar segera menikah atau bisa juga saat membeli buku tiba-tiba kita menemukan kalimat yang relevan dengan seseorang yang dekat dengan kita, banyak sekali kuasa Allah. Tugas kita hanya berusaha mencari dan memahaminya” demikian Mas Hanif menambahkan, cukup lengkap dan detail.

Jawaban itu sekaligus mengakhiri kunjungan kami ke sana. Banyak ilmu yang didapat dan kami semakin paham tentang hakikat jodoh dan pernikahan bahwa sejatinya jodoh bukanlah puncak gunung yang akan menunduk pada kaki manusia, tapi kekuatan, kegigihan, serta usaha keras agar kaki kita bisa sampai di puncaknya. Seperti kata Jon dalam film serendipity, bahwa untuk menjalani hidup yang selaras dengan alam semesta, kita hendaknya memiliki keyakinan yang kuat akan apa yang disebut nenek moyang manusia sebagai ‘fatum’ atau yang dewasa ini kita sebut ‘takdir’. Jodoh memang ditangan Tuhan, tapi ikhtiar kita lah yang akan menentukan sampai tidaknya jodoh itu di tangan kita.

Eki Lesmana

Minggu, 06 Mei 2018

"Maret"

Mari merayakan bulan ganjil ini dengan pesta asing yang kerapkali kita abaikan. Senja keemasan, merdu hujan, atau barangkali suara ciuman yang berulangkali gagal ia tirukan. Sederhana saja, tak seperti maret tahun lalu, kali ini kita tak perlu saling memunggungi diam dengan bius pertengkaran. Mengunci kepala meributkan perihal kecil siapa yang lebih dulu melubangi dada. Cukup sudah. Kita akan tetap diam di tempat. Sebab saling injak tak akan pernah membuat kita beranjak.

Kau hanya perlu datang lagi kesini. Memberi sedupa wangi yang semerbak seperti melati di suatu pagi. Seekor kupu-kupu terjebak di atasnya, seperti ingin merebahkan lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Hinggap lalu terjatuh. Dikubur dalam pemakaman paling megah, bunga-bunga kecewa, atau nisan bernama bosan yang sengaja kurahasiakan. Kau dan aku tentu paham, tidak semua yang indah perlu untuk diungkapkan. Ada yang harus tetap disimpan agar ingatan bisa mengisi ruang kosong di dalamnya.

Kita lupa satu hal; terlalu menggebu menidurkan masa lalu hanya akan membuat kita semakin pandai melukai. Bersikeras melibatkan kata benar dalam mulut puisi. Kalimat berserakan seperti daun-daun basah yang lupa disapu di sore hari. Dibakar senja, menguapkan segala yang dikenang airmata. Meski dibalik sembunyi kau juga tak akan pernah percaya, bahwa kau adalah satu-satunya yang kucintai, berapapun banyak perempuan di dunia ini.

Entah hari ini atau bahkan bulan-bulan ke depan nanti. Kita akan berusaha baik-baik saja dibalik wajah canda, derai tawa, atau apapun sejenisnya. Mengemas berbagai luka dalam bahasa yang tak dipahami dada. Sunyi dan sepi sebab kita tak menyalakan kembang api. Perayaan ini akan tetap sederhana, seperti simpul tali sepatu yang memilih lepas dari ikatannya. Dan pada akhirnya aku percaya, dari segala jenis bulan di kalender usangku, maret akan membawa hal-hal baik, perihal yang tak terduga, juga berbagai bahagia, entah bagaimanapun bentuknya.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 1 Maret 2018

"ORASI KEBANGSAAN AHY"


Sumber foto : google


LUAR BIASA! Dua kata yang bisa saya tuliskan setelah melihat, mendengar, dan mengamati orasi kebangsaan AHY. 43 menit TANPA TEKS berlalu tanpa terasa. Saya paham itu bukanlah hal yang mudah, apalagi harus berorasi dihadapan ribuan kader partai dan jutaan masyarakat Indonesia tentang aspek kebangsaan yang sangat kompleks jumlahnya disertai pikiran-pikiran tajam yang komprehensif. Ada kritik, ada solusi, keduanya disampaikan secara matang.

“yang sudah baik dilanjutkan, yang belum baik diperbaiki.” Pungkasnya memperjelas tagline yang digunakan partai demokrat setelah memulai beberapa pencapaian masa jabatan presiden dari satu periode ke periode yang lain. Wajahnya nampak santun dan sumringah. Gestur tubuhnya jelas bahwa ada keniscayaan terhadap apa yang telah disampaikan.

Orasi kembali dilanjutkan. Dalam kesempatan itu AHY menyebutkan lima sasaran yang akan dicapai oleh partainya jika diberi mandat oleh rakyat lima tahun ke depan. Ke lima sasaran itu akan terealisasi dengan menggunakan sembilan strategi. Satu persatu ia jelaskan dengan rinci tanpa hambatan sedikitpun. Sesekali AHY berhenti ketika sorak sorai dan tepuk tangan hadirin menggemuruh menyebutkan namanya. Saya sedang membayangkan berada disana dan mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama melihat seorang pemuda berusia 39 tahun sedang berdiri diatas panggung dengan gagasan-gagasan cemerlang yang mungkin tidak banyak dimiliki pemuda seusianya. AHY adalah potret nyata pemuda masa depan harapan bangsa.

Saya juga mungkin akan kembali bersorak lebih kencang ketika AHY menjelaskan langkah yang akan ia ambil ke depan. ”Tuhan, Allah Swt memang telah menakdirkan saya untuk bertransformasi mengubah seragam hijau menjadi biru, namun itu semua tidak berarti mengubah semangat dan prinsip hidup saya untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara.” Kalimat itu kemudian dibanjiri tepuk tangan dan sorak sorai yang lebih kencang. Saya mencoba memahami kalimat itu. Pasalnya memang benar AHY memutuskan pensiun dini dari TNI hanya berpangkat mayor saja. Hal ini tentu berbeda dari Pak SBY yang memang sudah mencapai pangkat jenderal. Sebuah keputusan yang mengagumkan.

Tak lama kemudian ia akhiri orasinya yang disambut meriah oleh seisi ruangan. Tepuk tangan bergemuruh. “AHY! AHY! AHY!” dikumandangkan tanpa henti. Senyum tipis di wajahnya menunjukkan keteduhan jiwa sekaligus kebanggaan akan orasi yang baru saja ia sampaikan. Tangannya melambai ke kanan dan ke kiri seakan berbicara dengan apresiasi yang tinggi kepada setiap hadirin yang datang. 

Tulisan ini bukan sebagai bentuk saya mendukung AHY di pemilu nanti. Tulisan ini hanya sebagai bentuk apresiasi saya seorang generasi milenial yang konon katanya tahun 2019 nanti jumlah pemilihnya mencapai 100 juta orang. Tulisan ini mungkin akan berubah seiring keputusan yang akan diambil partai demokrat beberapa bulan ke depan. Tulisan ini mungkin juga akan menjadi perasaan kecewa yang terpendam oleh waktu dan bukan lagi apresiasi yang membanggakan apabila demokrat memilih untuk berkoalisi dengan partai-partai yang kebijakannya kerapkali mengerdilkan rakyat kecil.

Semua orang sependapat keberhasilan dua periode Pak SBY di pemilihan presiden yang telah lalu. Hal yang tak bisa dibantah siapapun. Partai demokrat tentu tidak akan gegabah menentukan pilihannya, namun bukan berarti harus bersikap netral seperti pemilu 2014. Saya rasa itu bukanlah sebuah pilihan bijak, apalagi faktanya ada kader-kader muda yang mumpuni seperti AHY, juga tak lupa Tuan Guru Bajang (TGB) yang sejak usia 36 tahun telah menjadi Gubernur NTB hingga saat ini (2 periode). Demokrat harus berani menentukan sikap. Tentu jika demokrat berani untuk memilih poros ketiga bersama PAN dan PKB maka dipastikan pemilu 2019 akan berjalan semakin panas dan menarik. Artinya pemilu tidak hanya akan diikuti oleh dua paslon saja.

Tulisan ini saya akhiri juga dengan sebuah apresiasi terhadap Pak SBY. Sedari tadi saya terlalu membesar-besarkan AHY. Saya lupa dibalik keberhasilan juga penampilannya di depan publik, ada sosok yang telah mati-matian dan merelakan segenap waktunya untuk mendidik kematangan berpikir, ketenangan jiwa, juga keberanian berpendapat dalam dirinya. Saya yakin Pak SBY sangat bangga dengan transformasi AHY saat ini, karena tidak bisa dibantah lagi jika dilihat dari cara berbicara, gestur tubuh, dan pola berpikirnya, AHY merupakan buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dan benarlah kalimat itu. AHY adalah kader biologis dari seorang bernama SBY.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 14 Maret 2018

April

Tak ada hujan bulan april di kotaku
hanya ada malam gelap juga bulan kesiangan
Maka aku ingin mengajakmu meramaikan lengang di udara
Menjadikanmu majas-majas basah beraroma hujan
Puas membasahi halaman daun rinduku
Seperti debar jantungku yang meletup-letup menyebut namamu

Kita tak butuh perayaan untuk bulan-bulan tertentu, katamu
Sebab memelukmu sama saja dengan menebak suhu musim dingin
Gigil yang selalu mampu dirayakan api dadaku
Maka apakah kita masih perlu hujan? 
Sementara rusukmu adalah panggung bagi dadaku mementaskan kekagumannya.

Tidak perlu takut kehilangan megahnya bulan april
Kuajak gigilmu kemanapun tubuhku datang memanggil
Sebab aku percaya april selalu menyediakan hangat terbaiknya
Dan memeluk juga memilikimu adalah salah satunya

Kita akan tiba di satu sore yang tak melibatkan kecewa,
Malam tanpa purnama, atau apa saja yang tak memerlukan cahaya
Saat itu aku ingin mengajakmu menggiring doa-doa baik
Maka tetaplah disini, setidaknya untuk 30 hari ke depan
Atau selamanya saja?
agar kau tetap percaya bahwa namamu adalah satu-satunya alasan yang selalu kusemogakan.

Eki Lesmana

PS : puisi ini ditulis tanggal 1 April 2018

"Serendipity"


sumber gambar : google

Serendipity (2001), film yang dibintangi oleh John Cusack dan Kate Beckinsale ini mungkin sudah tampak tua, apalagi teruntuk saya yang baru sempat melihatnya di tahun 2018. Namun, saya percaya tidak ada cerita, tulisan, film, atau karya yang menua. Manusia boleh menua tapi karya akan selalu abadi.

Dari film ini saya belajar bahwa takdir tak semestinya ditunggu, tapi dijemput. Memang benar, sesuatu yang ditakdirkan untuk kita akan tetap datang untuk kita, seberapapun jauhnya kita coba menghindari. Yang perlu diingat adalah Tuhan menyediakan takdir bukan agar kita duduk tenang dan berdiam diri, tapi agar kita berlari datang dan mencari. Takdir bukanlah puncak gunung yang akan turun menunduk pada kaki manusia, tapi kekuatan dan usaha keras agar kaki kita sampai di puncaknya. Itulah takdir.

Bagaimanapun bentuk kerasnya usaha itu, pada akhirnya kita hanya perlu meyakininya dalam diri. Seperti kata Jon dalam film ini, bahwa untuk bisa menjalani hidup dalam harmoni yang selaras dengan alam semesta, kita hendaknya memiliki keyakinan yang kuat akan apa yang disebut nenek moyang manusia sebagai ‘fatum’ atau apa yang dewasa ini kita sebut sebagai ‘takdir’.

PS : Saya menonton film ini karena penasaran dari salah satu judul blog yang ditulis oleh Pak @madeandi 

Eki Lesmana

"Hakikat Mencintai"

Sumber foto : instagram @artcologi


Pagi masih belia, aku baru sampai di ruangan training center di PT. Lotte Cilegon, Banten, untuk melaksanakan kewajiban dari kampus. Tiba-tiba seorang perempuan memanggilku dari ruang sebelah. Nadya namanya. Aku berkenalan dengannya beberapa hari yang lalu. Wajahnya cantik, namun kepribadiannya cenderung ceplas ceplos. Barangkali hal itu yang menjadikan kami akrab satu sama lain.

Suara mesin berderu dan bersahutan terdengar di luar sana. Kami sedang duduk berhadapan satu sama lain di sebuah ruangan yang tak jauh dari mesin-mesin itu. "Aku ingin cerita Kik, entah kenapa aku ingin ceritanya sama kamu" katanya perlahan. Kutatap matanya dalam-dalam, tampak ada kesedihan yang ingin sekali dirayakan bersama seseorang dan pagi ini ia memilih merayakannya bersamaku. 

"Cowok aku tuh, akhir-akhir ini semakin protektif. Ya tahu sendirilah dulu aku kan suka main kesana-sini, temenku juga banyak cowok disana-sini apalagi kalau main ke gunung pasti dapat temen-temen baru yang asyik." dia memulai ceritanya. Aku hanya diam mengamati caranya bercerita dan memahami dengan hati-hati setiap apa yang keluar dari mulutnya. Aku paham perempuan itu sensitif dan mudah tersinggung. Semua lelaki juga tahu itu. 

"Masak aku gak boleh nyimpen nomor cowok sama sekali di hapeku, kamu aja kemarin nge-WA gak aku bales kan, aku takut dia marah sama aku." dia melanjutkan ceritanya. Di bagian ini aku penasaran dan ingin bertanya memastikan
"emang hapemu di bawa sama cowokmu?"

"Gak sih Kik, cuman dia kayak nyadap gitu, ada WA aku di PC nya dia." dia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam lalu melanjutkan kisahnya. 

"tapi sebaliknya, kalau dia mah gak mau dilarang, temennya juga banyak cewek, di hapenya juga pernah kutemuin chat sama cewek lain. Tapi chatnya yang dulu-dulu keburu dihapus. Gimana gak sakit hati coba. Aku dilarang-larang dianya sendiri minta bebas."

Tiba-tiba Nadya berhenti sejenak lalu melanjutkan ceritanya sambil kulihat ada sesuatu paling mahal yang perlahan keluar dari matanya.

"Apalagi kemarin dia bilang aku cuman minta bahagia aja, gak mau susah bareng dia. Padahal mah aku selalu ada buat dia, nanyain dia bagaimanapun keadaanku. Tapi dia sendiri gak pernah kayak gitu ke aku. Sakit tau." suaranya serak. Tangannya tampak menyeka air matanya perlahan. Kurasakan ada kesedihan mendalam yang terlalu lama ia pendam sendiri. Dan hari ini ia memilih menggali perasaan sakit itu untuk diketahui oleh orang lain. Aku menghargai itu.

Aku tiba-tiba teringat 6-7 tahun lalu ketika aku masih memiliki seorang perempuan. Tuhan seakan ingin menamparku dan kembali mengingatkan bahwa aku dulu juga sama seperti lelaki itu. Dulu aku terlalu protektif dan pencemburu keterlaluan. Dan aku baru sadar beberapa tahun belakangan kalau itu terlalu kekanak-kanakkan. Pagi ini Tuhan sedang menghidangkan sebuah sarapan dalam sebuah ruang kepala bernama kenangan. Orang yang mengalami boleh saja berbeda tetapi kisahnya kurang lebih persis sama.

Aku pelan-pelan menegakkan tempat duduk. Kulihat airmata Nadya perlahan kering dan raut wajahnya masih tampak sedih. Aku memulai menanggapi cerita Nadya dengan menceritakan kisahku dulu.

"Baiklah, sebenarnya semua tergantung persepsi masing-masing orang dan kali ini aku akan menanggapi ceritamu dari sudut pandang sebagai lelaki." Nadya tampak serius menyimak. 

"Aku dulu kurang lebih sama seperti cowokmu. 7 tahun lalu aku masih SMA dan masih awam tentang mencintai dan dicintai. Aku terlalu protektif saat itu dan kadang sakit hati sendiri saat cewekku melakukan hal-hal yang kularang. Tapi maaf sepertinya di usia kita yang saat ini sudah kepala dua, aku pikir itu sudah tidak penting lagi. Mencintai di usia ini berarti serius menjalin hubungan dua hati dan dua keluarga, bukan hanya cinta-cintaan saja seperti aku dulu."

"Aku paham kalau apa-apa yang dilarang cowokmu itu adalah sebagai bentuk menjaga agar kamu tidak berpindah ke lain hati. Aku juga paham kalau cowokmu mudah cemburu. Benar kata sebagian orang bahwa cemburu adalah sebagai salah satu bukti kalau kita memiliki rasa mencintai. Tetapi tidak di usia sekarang, Nad.  Kita bukan anak SMA lagi. Jauh dari pada itu kalian cuma pacaran bukan berada pada hubungan serius yang mengikat seperti pernikahan. Aku tidak menyalahkan cowokmu, juga tidak menyalahkan kamu. Mungkin cowokmu melakukan itu dengan alasan lain dan aku tidak tahu itu." Aku berhenti sejenak. Menahan napas lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Bahasan ini agak berat apalagi faktanya saat ini aku tidak punya pacar. Dan aku tahu itu soal lain lagi.

"Aku sebenarnya gak tahu kamu harus gimana, yang tahu semuanya adalah kamu dan cowokmu sendiri.  Kalianlah yang akan menentukan bagaimana hubungan kalian ke depan. Kamu yang paling paham lebih banyak baik atau buruknya hubungan kalian. Kalau yang kalian jalani saat ini lebih banyak baiknya silakan lanjutkan hubungan itu dengan lebih serius ke jenjang selanjutnya, jangan terlalu lama. Sebaliknya, kalau kamu tahu hubungan kalian lebih banyak buruknya silakan akhiri saja lebih cepat daripada kamu terlalu dalam mencintai namun pada akhirnya tidak sampai pada tahap dinikahi." aku menjawab demikian ketika Nadya bertanya bagaimana dan apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya.

Aku melanjutkan ceritaku dengan meyakinkan Nadya mengenai takdir Tuhan.

"Percaya deh Nad sama aku, kalau Tuhan itu terlibat dalam setiap tindakan dan apapun yang kita lakukan. Kalau kamu pernah menonton film 'Serendipity' kamu akan tahu bagaimana Tuhan berperan. Jonathan dan Sara yang tidak sengaja bertemu karena ingin membeli sebuah kaos kaki yang stoknya tinggal satu kemudian berakhir menjadi sebuah makan malam di sebuah rumah makan bernama 'Serendipity'. Jon meminta nomor Sara untuk meyakinkan bahwa mereka berjodoh, namun Sara menolak hal itu dan menuliskan nomor hapenya pada sebuah buku yang akan ia jual keesokan harinya dan menyuruh Jon untuk mencari dan membeli buku tersebut pada seluruh Kota. Sementara Jon menulis nomornya pada sebuah uang kertas yang dibelanjakan sara kepada sebuah toko. Sara yakin kalau mereka berjodoh maka pada waktunya nomor tersebut akan datang dengan cara-cara tak terduga. Beberapa tahun berlalu namun Jon dan Sara tak pernah menemukannya."

"Pada akhir film itu, ketika Jon hendak menikahi seorang perempuan tiba-tiba ia membatalkannya karena semalam sebelum pernikahan itu, calon istri Jon memberikan hadiah sebuah buku yang mana di dalamnya ternyata terdapat nomor Sara. Sementara Sara mendapatkan uang yang bertuliskan nomor Jon saat berada di dalam pesawat. Dan pada akhirnya mereka bertemu kembali dengan cara yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Aku tak ingin menjelaskan film itu terlalu detail, tapi lihatlah bagaimana Takdir menyatukan mereka. Dan kita harus percaya itu, bahwa Tuhan sudah mengatur segalanya."

Nadya tampak takjub mendengar kisah itu sebelum pada akhirnya ia bertanya satu hal penting lainnya. "Bagaimana kalau aku gak bisa ngelupain dia, Kik?"

"Bisa, Nad. Aku yakin kamu bisa. Semuanya kembali kepada hati kamu sendiri. Kita harus ingat bahwa semua yang kita miliki juga akan hilang dan pergi. Kita tak sepantasnya merasa memiliki sesuatu karena pada hakikatnya semua akan kembali kepada sang pencipta." kata-kata itu sepertinya mulai menenangkan kegelisahan dalam hati Nadya. 

"Aku ingat sebuah kisah cinta ulama tersohor di negeri ini, Buya Hamka namanya. Beliau adalah imam besar di zaman kemerdekaan Indonesia. Beliau juga yang menjadi imam dikebumikannya presiden pertama Indonesia." demikian aku memulai kisah itu.

"Buya Hamka sangat mencintai istrinya bahkan sampai berpulangnya sang istri kepada yang maha kuasa. Kadang kenangan bersama istri tiba-tiba datang menghampiri beberapa tahun setelah meninggalnya sang istri. Irfan Hamka, anak dari Buya Hamka kadang mengetahui itu dan kegiatan sang ayah ketika sedang merindukan istrinya. Dalam buku berjudul 'Ayah' yang ditulis Irfan, Buya Hamka sering melakukan sholat taubat ketika kenangan bersama istrinya muncul tiba-tiba, karena Buya takut berdosa apabila terlalu mencintai istrinya sampai-sampai melupakan Allah yang maha menghidupkan dan mematikan hambanya. Demikian dengan kita, kita harusnya mencintai seseorang sewajarnya saja karena kecintaan kepada manusia bisa hilang sewaktu-waktu tapi cinta kepada Allah adalah keabadian yang semestinya kita jaga." Aku mengakhiri tanggapanku atas cerita dan pertanyaan Nadya. Kulihat wajahnya tampak lebih tenang dan kesedihan itu perlahan-lahan hilang dengan selengkung senyuman yang ia berikan. 

Eki Lesmana

PS : Cerita ini ditulis di dalam bus pada 9 April 2018 sewaktu perjalanan pulang dari PT Lotte menuju ke rumah kontrakan di PCI yang berjarak 30 menit. Cerita ini bisa juga tidak sama persis karena keterbatasan ingatan saya tetapi kurang lebih sama. :)

"Bertukar Pikiran"

Kemarin pagi selepas sholat dhuha di musholla seorang lelaki tiba-tiba menghampiri saya.
"Dari mana Mas?"
"Malang pak"
"Kota apel itu ya?"
"enggeh Pak, benar"
Kami diam sejenak, saya tatap wajahnya, tampak ada sesuatu yang sepertinya ingin dibagi kepada orang lain. 
"Anak saya sama usianya seperti mas. Anu Mas, dia itu ingin kuliah" beliau memulai kisahnya. 
"Bagus dong Pak" kata saya. 
"Iya bagus sih Mas. Dia sudah kerja di salah satu perusahaan di daerah sini dan memang dia bisa membiayai kuliahnya sendiri."
"Tambah bagus lagi itu Pak, semangat pemuda seperti anak bapak yang haus akan ilmu perlu ditiru." Saya mengapresiasi. 

Sebelum pada akhirnya si Bapak menjelaskan panjang lebar bahwa ada ketakutan yang berkecamuk dalam dirinya kalau anaknya kuliah tapi tidak serius dengan apa yang akan dijalani. Beliau takut kalau ternyata anaknya kuliah hanya karena gengsi atau ikut-ikutan saja. Saya sadar betul dan memahami ketakutan itu. Sementara di sisi lain beliau takut kalau saja anaknya lulus ijazahnya tidak akan berguna untuk jenjang karier dalam pekerjaannya. Beliau tahu bahwa kalau ingin anaknya naik kariernya harus keluar dulu dari perusahaan tersebut dan masuk lagi dengan banyak tahap tes dengan ijazah terakhir yang di dapat. Saya paham itu tidak mudah dan ketakutan itu wajar adanya. 

Saya tidak bisa menyarankan banyak hal, apalagi yang dikatakan beliau benar dan tidak bisa saya bantah.
"Begini, Pak. Saya tahu ketakutan yang bapak alami juga dialami banyak orang tua di luar sana." demikian saya memulai lagi percakapan itu.
"Saya juga paham anak Bapak tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya untuk turut membiayai kuliahnya. Barangkali begitulah alasan dia bekerja dulu dan ingin kuliah ketika waktunya tepat. Dan bagi dia, mungkin saja ini adalah saat yang tepat. Tidak banyak anak yang bisa seperti anak bapak yang ingin melanjutkan kuliah apalagi sudah bekerja di salah satu perusahaan besar. Ada rasa malas karena sebagian berpikir untuk apa kuliah toh sudah dapat uang banyak?" beliau menatap saya serius.

"Mengenai karier anak Bapak, tentu yang bapak ceritakan itu benar dan saya tidak bisa memungkiri itu. Tapi kita harus percaya Pak, tidak ada ilmu yang kita tempuh dengan sungguh-sungguh akan berakhir percuma dan sia-sia. Boleh jadi saat ini belum bermanfaat untuk jenjang kariernya, tapi suatu saat nanti bisa saja membuat karir anak Bapak menjadi tinggi. Apa sulitnya buat Allah? Mudah sekali, toh Allah maha segala-galanya." tiba-tiba suara adzan dhuhur berkumandang seakan mengingatkan bahwa Allah memang maha besar dan maha segalanya. Ada ketenangan baru dalam wajah si Bapak. 

Tak terasa sudah hampir satu jam kami bertukar pikiran. Sebenarnya saya yang lebih banyak mendapat ilmu baru dan beberapa pertanyaan dalam diri : Apakah nanti saya bisa memiliki kekhawatiran yang sama untuk anak-anak saya seperti yang Bapak itu rasakan? Siang ini beliau telah memberikan contoh yang baik juga pelajaran yang tak ternilai harganya. Di sisi lain saya tidak bermaksud menggurui atau menasihati beliau. Saya hanya ingin berpendapat sesuai yang saya ketahui meski bisa jadi apa yang saya sampaikan salah. :)

Selepas sholat saya melihat Bapak itu khusyuk dalam doa-doanya.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 13 April 2018

"Isra Mi'raj"

Isra mi'raj adalah peristiwa agung dan istimewa dalam agama islam yang diabadikan dalam Al-Quran. Isra mi'raj berarti mengimani perjalanan menakjubkan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsho juga Sidratul Muntaha. Isra mi'raj berarti menyediakan waktu dalam diri untuk berkontemplasi mengenai sholat 5 waktu sebagai bentuk perintah wajib beribadah. Isra mi'raj juga berarti memperingati perjuangan kaum muslimin merebut kembali Masjidil Aqsho, tempat Nabi singgah sebelum naik ke sidratul muntaha.

Isra mi'raj adalah mengenai keimanan, renungan, juga perjuangan. Isra mi'raj tidak sepantasnya hanya diperingati sebagai tanggal merah yang niscaya terjadi setiap tahun. Isra mi'raj tidak seharusnya hanya menjadi repetisi belaka untuk mengisi hari libur dengan tidur-tiduran dan bersantai-santai di atas empuknya kasur. Isra mi'raj lebih dari itu dan kami bukanlah bagian orang-orang yang demikian. Kami adalah generasi yang melakukan penelitian-penelitian ilmiah untuk membuktikan kebenaran yang mustahil dijelaskan oleh akal sebagai bentuk keimanan pada Isro dan mi'raj. Kami adalah generasi yang senantiasa datang dari satu tempat ke tempat lain untuk berguru pada seseorang guna mendalami ilmu-ilmu agama sebagai bentuk renungan tentang hakikat pencipataan manusia yang sebenarnya. Kami adalah orang-orang yang gemar membaca dan memelajari sejarah lalu mengamalkannya sebagai bentuk perjuangan untuk kebaikan di masa depan. Di hari ini masjid-masjid akan kami penuhi dan doa-doa akan lebih khusyuk kami panjatkan untuk negeri kami, negeri-negeri muslim dan khususnya yang sedang mengalami penjajahan juga penindasan, meski pada dasarnya kami tahu berdoa bisa kapan dan dimana saja.

Selamat memeringati Isra dan Mi'raj teruntuk saudaraku kaum muslimin dimana saja. Jika ada orang-orang yang menganggap Isra Mi'raj adalah fiktif belaka maka sekaranglah saatnya kita tunjukkan dengan kebaikan-kebaikan yang kita punya. Satu kebaikan seseorang sudah cukup mewakili golongan yang lebih besar. Dan konon katanya satu tindakan baik lebih dihargai daripada seribu kata-kata ilmiah.

Eki Lesmana

*Ditulis pada saat isra mi'raj 14 April 2018

"Pacar Puitis atau Biasa?"

Pilihlah pacar yang puitis juga romantis, jangan yang biasa-biasa saja. Tidak enak, hambar, tidak manis juga tidak asin.

Berikut adalah perbedaannya :


Kekasih biasa : "aku tidak bakalan lupa sama kamu"

Kekasih puitis : "entah nanti aku kau lupakan atau tidak. Yang jelas saat ini aku sedang mengingatmu"
.
.
Kekasih biasa : "buat aku kamu itu yang pertama dan terakhir."

Kekasih puitis : "yang pertama atau terakhir? Bagiku kau adalah keduanya. Titik!"
.
.
Kekasih biasa : "selamat malam semoga mimpi indah"

Kekasih puitis : "Tidurlah. Kau tak butuh selimut, hanya butuh hangat peluk dan doa-doaku. Selamat malam."
.
.
Kekasih biasa : "Duh, senyummu itu manis kayak gula!"

Kekasih puitis : "Dilihat dari jarak sejauh apapun, caramu tersenyum tetap saja mengagumkan. Ternyata memang benar, Tuhan menyukai keindahan. "
.
.
Kekasih biasa : "Sayang, jangan lupa sholat, ya!"

Kekasih puitis : "Jangan lupa melibatkan Tuhan entah bagaimanapun bentuknya. Maka semestinya kau dan aku saling mendoakan dalam tengadah tangan masing-masing."
.
.
Kekasih biasa : "Dingin banget ya malam ini, peluk dong"

Kekasih puitis : "Apa kita harus percaya pada gigil? Sementara di tubuhmu aku menemukan hangat yang tak mampu dihitung pengukur suhu manapun"
.
.
Kekasih biasa : "kalau habis lihat kamu itu rasanya sejuk"

Kekasih puitis : "Beberapa perempuan diciptakan sebagai penyejuk berbagai jenis panas. Dan kau yang membaca ini adalah salah satunya."
.
.
Kekasih biasa : "semangat ya kuliahnya, selamat hari senin. Ku sayang kamu."

Kekasih puitis : "Senin lagi. Dan mencintaimu masih menjadi rutinitas yang belum pernah membosankanku."
.
.
Kekasih biasa : "selamat menikmati hari minggu"

Kekasih puitis : "Minggu pagi sengaja hadir agar kita bangun lebih siang. Ternyata benar,  memikirkanmu semalaman memang butuh tidur yang cukup."

Eki Lesmana

"Kartini"

Perempuan itu menangis setiap pagi. Wajahnya tampak sedih, marah, dan kecewa, semuanya berbalut menjadi satu. Alasannya sederhana, ia merasa gagal mendidik anaknya yang saat itu enggan untuk memasuki TK di usia 5 tahun. Hingga 2 tahun berlalu, bocah kecil itu juga tidak ada niat sedikitpun untuk pergi ke sekolah.

Suatu ketika perempuan itu datang menemui kepala sekolah di sebuah SD. Ia ingin anaknya diterima tanpa duduk di bangku TK, tentu tanpa tes juga, karena jelas bocah kecil itu tidak bisa membaca dan menulis. Karena kebaikan hatinya, akhirnya bocah kecil itu bisa bersekolah disana. Setiap pagi dengan tangis gemetar dan linangan air mata perempuan itu mengantar anaknya pergi ke sekolah. Pasalnya, bocah kecil itu tidak akan pergi ke sekolah jika tidak ditemani perempuan itu. Ia akan memilih tidur, pura-pura sakit atau alasan apa saja yang bisa membuatnya tetap berada di dalam kamar. Dan ini berlangsung lama, 4 tahun. Ya kamu tidak salah baca. Selama itu bocah kecil tersebut diantar oleh perempuan itu hingga duduk di bangku kelas 4 SD. Apakah ini memalukan baginya? Entahlah tidak ada yang pernah tahu perasaannya.

Perempuan itu adalah Ibu saya. Jika ada sosok yang bisa saya sepadankan, maka ibu adalah Kartini bagi saya, yang jika saja saat itu tidak bersikeras sekuat tenaga menyekolahkan saya, barangkali tulisan ini tak pernah kamu baca. Ibu saya memang tak pernah lulus SD, tapi melihat kekuatan dan ketabahannya untuk menyekolahkan anaknya melebihi batas terakhir pendidikannya adalah kemerdekaan baginya juga bagi kami, anak-anaknya. Ibu saya juga mungkin tak pernah hafal UUD 1945 alinea ke empat tentang cita-cita Indonesia 'mencerdaskan kehidupan bangsa' tapi melalui lakunya telah tercermin nilai-nilai itu. Ibu saya juga tak pernah mengenal apa itu instagram, facebook, ataupun whatsapp untuk media berkomunikasi karena beliau gaptek teknologi, tapi melalui doa-doanya saya bisa merasa selalu terhubung kapanpun dan dimanapun berada. Ibu saya juga tidak pernah membaca buku 'habis gelap terbitlah terang' tapi melihat semangatnya, saya bisa memetik nilai-nilai kehidupan dari buku itu.

Hingga suatu saat nanti kamu membaca tulisan ini, kapanpun itu, bagi saya, Ibu tetaplah Kartini yang semangatnya tak pernah terkikis oleh waktu. Selamat hari Kartini.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 21 April 2018

"Selamat Hari Kartini"

Tulisan ini mungkin saja klise, tapi saya ucapkan terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membacanya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa R.A. Kartini meninggal di usia 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya. Sungguh di luar dugaan, perempuan yang di masa itu memiliki banyak cita-cita mulia harus undur diri dari dunia. Bagi saya beliau luar biasa. Usianya memang tidak panjang, tapi lihatlah jasanya tetap terkenang sepanjang masa. 

Dulu di masa penjajahan Belanda 1900-an, nasib kaum perempuan jawa sungguh mengenaskan. Rumah mereka sendiri adalah penjara, karena konon mereka tidak boleh mengenal kehidupan luar. Di satu sisi, ketika ada lelaki yang meminangnya, mau tidak mau mereka harus bersedia entah baik atau buruknya lelaki itu. Mereka hidup dalam ketakutan akan dunia, mereka juga tidak berpendidikan, karena tidak ada sekolah untuk perempuan.

Maka, sosok perempuan seperti Kartini saat itu adalah cerita lain. Kartini menembus batas-batas itu. Baginya, asal bisa menulis maka suaranya bisa didengar sampai ke negeri-negeri seberang. Melalui surat-suratnya ia sampaikan kekhawatiran akan masa depan kaum perempuan. Jika kamu pernah mendengar "Seorang ibu haruslah berpendidikan tinggi, karena anaknya harus lahir dari rahim ibu yang cerdas." Itulah cita-cita Kartini yang saat ini sedang kita nikmati bersama. Itu pula ungkapan Kartini dalam bukunya yang kini telah dimaknai banyak orang dalam tulisan-tulisan yang kurang lebih sama maknanya. Kartini sesungguhnya adalah pejuang melalui tulisan juga kata-kata. Maka jangan pernah meremehkan kata-kata.

Saya yakin masih banyak perempuan seperti Kartini di zaman ini. Jika ia adalah seorang ibu yang tidak lulus SD namun mampu menyekolahkan anaknya melebihi batas terakhir pendidikannya, ialah Kartini. Jika ia adalah seorang mahasiswi yang melalui jurnal-jurnal penelitiannya mampu bermanfaat bagi kehidupan orang lain, ialah Kartini. Jika ia adalah seorang anak yang turut membahagiakan orang tuanya dengan merapikan kamar selepas bangun tidur atau mencuci piring setelah makan, ialah Kartini. 

Kartini di zaman ini bisa jadi berbeda perjuangannya. Kartini di zaman ini bisa jadi adalah transformasi peradaban. Kartini tak hanya dimaknai setiap tanggal 21 April karena nilai-nikai itu seharusnya tercermin dalam kehidupan keseharian.

Maka pada akhirnya, setiap perempuan adalah Kartini. Karena dari sanalah setiap manusia dilahirkan. Jika bukan karenanya, mungkin tulisan ini tak pernah ada. Dan jangan lupa, jika setiap perempuan adalah Kartini, maka sebaliknya, setiap lelaki adalah Kartono yang semestinya menjaga dan menaungi setiap Kartini-nya. 

Selamat hari Kartini, Perempuanku. Kamu layak dijunjung tinggi. 

Eki Lesmana

*Ditulis pada 21 April 2018

"Marc Spelmann"


sumber foto : google

Untuk pertama kalinya, saya menonton pertunjukkan magic yang mengharukan. Seminggu lalu seseorang telah memukau para juri Britain's Got Talent dengan aksinya. Ia adalah Marc Spelmann.

Sebenarnya pertunjukkan yang ia tampilkan sudah umum dilakukan oleh magician lain, karena di Indonesia juga ada Deddy Corbuzier maupun Demian yang seringkali menampilkan sulap mengenai prediksi. Tapi Marc menampilkan sesuatu yang berbeda. Ia tampil dengan sebuah kisah mengharukan melawan kemustahilan. Ia hadirkan kisah nyata akan keajaiban membenturkan takdir dengan usaha-usaha keras. Bagi saya, Marc adalah satu-satunya yang menampilkan sulap dengan sebuah rangkaian cerita. Atau barangkali ada yang lain? Entahlah, saya yang tidak tahu atau malas mencari tahu. 

Marc membuka pertunjukkannya dengan melibatkan para juri. Mereka diberi kesempatan untuk memilih warna pensil, kartu kartun, memutar rubik, juga melingkari kata dalam sebuah buku yang nantinya akan menjadi pertunjukan inti dalam trik sulapnya. Setelah selesai dengan para juri, Marc memulai kisahnya melalui video yang sudah ia siapkan. Dalam video itu diceritakan bahwa ia bersama Tessa, istrinya, sudah mencoba lebih dari 5 kali untuk membuat bayi tabung karena mereka belum dikaruniai anak selama pernikahannya. Hingga suatu ketika untuk kesekian kalinya keajaiban itu datang dan akhirnya Tessa bisa hamil.

Isabella, anak mereka, dalam video tersebut tampak memegang sebuah pensil warna merah dan tidur bersama boneka yang mana keduanya sesuai dengan yang dipilih juri. Hadirin takjub. Bukan saja memukau, tapi kisah yang ia ceritakan memiliki nyawa tersendiri dalam pertunjukkannya. Kombinasi yang tepat, menurut saya. 

Mata hadirin mulai berkaca-kaca ketika Marc menceritakan lebih lanjut bahwa beberapa bulan setelah mengandung, istrinya menderita kanker payudara. Tubuhnya mulai kurus, rambutnya rontok, dan ada kesedihan mendalam pada video yang ia tampilkan. Saya turut merasakan itu. Tapi keajaiban belum berhenti. Mereka terus berusaha agar anaknya bisa lahir dengan selamat bersama Ibu yang tetap sehat. Demi mewujudkan impian itu, Tessa harus menjalani kemoterapi dan mastektomi.

Dalam video berikutnya, tampak Isabella memainkan sebuah rubik dan pola rubik itu sama dengan yang telah diacak oleh juri. Saya terpana dan keterpanahan itu akhirnya sampai pada puncaknya ketika dua tahun lalu Marc membuat video tentang kata pertama yang diucapkan oleh Isabella, anaknya. Tanpa disangka yang ia ucapkan sama dengan kata yang dilingkari oleh juri pada sebuah buku. Penonton dan hadirin berdiri memberikan tepuk tangan, dari mata mereka tampak ada bening air mata yang tak kuasa menahan harunya kisah dan pertunjukkan itu, meski menonton melalui youtube, saya juga larut dalam kesedihan yang sama. 

Saya sadar satu hal, sulap tidak selamanya tentang menghilangkan benda dan memunculkannya lagi. Sulap juga bukan hanya pertunjukkan dalam panggung megah yang dihadiri ribuan penonton. Sulap sejatinya adalah keajaiban-keajaiban dalam hidup setelah kita berusaha sekuat tenaga mencapai batas-batas yang barangkali mustahil terjadi. Dan kisah Marc dengan istrinya adalah bagian dari keajaiban itu. Kisah itu bukanlah kisah sedih, tapi kisah mengenai perjuangan untuk menunjukkan apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh sihir. Dan jika dalam hidup kita jarang sekali beroleh keajaiban, barangkali kita lupa akan kehadiran Tuhan yang seringkali cara kerjanya begitu misterius.

Eki Lesmana

Bermain bola lewat kaki atau hape?

Tadi sore sebelum menuju ke Pulau Kecil di Merak, Banten, saya menyempatkan turut serta bermain bola dengan adik-adik kecil yang tinggal tidak jauh dari sana. Mereka bahagia ketika saya menawarkan diri bergabung. Mereka berteriak dan tertawa sambil menendang bola. Mereka mungkin tidak paham bahwa diatas tempat mereka bermain bola kapan saja bisa ambruk, karena itu adalah jalan tol. Mereka mungkin juga tidak paham materi keselamatan kerja, karena tak jauh dari situ ada lintasan rel kereta api yang kapan saja bisa membahayakan nyawa mereka. Mereka jauh dari kata mewah tapi selalu terlihat bahagia disana.

Lantas apakah anak-anak lainnya yang tinggal di kota, yang lebih senang menghabiskan waktunya di dalam kamar ber-AC bermain bola melalui hapenya dengan temannya yang berada di kota lainnya lebih bahagia dari anak-anak tadi? Belum tentu. Anak-anak yang demikian tidak akan mengenal nikmatnya bermain permainan tradisional yang konon sekarang sedang digiatkan ulang oleh para akademisi. Mereka mungkin lekat dengan teknologi, tenggelam dalam layar 5 inchi yang mereka tidak tahu bahwa sebenarnya itu lebih berbahaya dari jalan ambruk ataupun lintasan rel kereta api.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 22 April 2018

10 tips move on

1. Move on bisa dimulai dengan tidak lagi membuka akun mantan, seberapapun kangennya.

2. Jangan sok-sokan menghubungi mantan jika hatimu belum punya tabah yang cukup. Kalau rindu lebih baik disimpan sendiri daripada tambah sakit hati.

3. Ketika bertemu mantan, siapkan senyuman terbaik. Buktikan kalau kamu sudah bahagia meski sudah tidak lagi bersamanya. Aku tahu ini berat, tapi lakukanlah!

4. Saat mantan tiba-tiba chat kamu, tunjukkan balasan yang biasa saja. Tidak usah baper.

Tapi kayaknya tidak mungkin sih mantanmu chat kamu duluan.

5. Kalau tiba-tiba di story-nya terlalu sering berduaan dengan pacar barunya, sebisa mungkin kamu mute story-nya. Atau kalau kamu kuat tetap lihat saja. Tapi kusarankan jangan.

6. Saat idul fitri usahakan mengirimi kartu ucapan selamat idul fitri dan meminta maaf. Aku tahu kamu tidak salah, tapi meminta maaf terlebih dulu adalah hal mulia.

Kalau kamu kangen saat itulah kesempatanmu chat agak panjang, tapi jangan kebablasan.

7. Meski dia sudah bahagia, tidak ada salahnya kamu mendoakannya agar selalu bahagia. Ingat, mendoakan kebaikan orang lain meskipun sudah menyakiti kita akan berdampak kebaikan lain pada diri kita. Jadi, jangan pernah mendoakan hal-hal buruk.

8. Move on itu tidak susah, yang sudah hanya melupakan kenangannya. Jadi mulai saat ini, buatlah kenangan sebanyak mungkin dengan orang lain, entah itu teman atau kekasih baru.

Intinya, yang sudah lalu tidak sepenuhnya harus dilupakan, tapi diganti dengan kenangan baru.

9. Untuk memastikan move on mu sudah berhasil bisa ditandai dengan mulai tertarik dengan senyuman orang lain. Percayalah, senyum orang-orang terdekat lebih menenangkan daripada dicintai lagi oleh mantan.

10. Ingat, mantan itu juga manusia dan semua manusia juga akan mati. Tidak ada yang abadi. Jadi, kembalikan semua perasaan kita pada pemilik perasaan.

Tetap libatkan Tuhan, bagaimanapun bentuknya.

Eki Lesmana

"Mengenang Cilegon"



Foto minggu terakhir bersama kawan-kawan PKL di Pulau Kecil, Merak.

Aku ingin mengajakmu mengembara jauh dari dinginnya kota dan penuh sesak kendaraan mahasiswa. Jalanan itu penuh sesak karena mereka lebih memilih tunduk dalam gairah mesin-mesin di jalanan daripada berjalan kaki yang hanya lima menit. Aku ingin pergi sejenak dari kota itu, mencari kesunyian dalam keramaian kota lain. Maka ikutlah aku larut dalam perjalanan kereta 15 jam, duduk dan membaca buku karya R.A. Kartini tentang emansipasi perempuan. Lalu nikmati pemandangan kerlap kerlip lampu rumah warga di jendela sambil membayangkan sosok seorang Ibu di dalamnya sedang mengajarkan kebaikan-kebaikan kecil yang kubaca dari buku itu. Aku tahu ia tak pernah membacanya, tapi memang demikianlah seorang Ibu, kebaikannya memang kadang tak cukup dituliskan di dalam buku-buku, karena sejatinya kebaikan itu adalah laku dan perbuatannya.

Lima belas jam kemudian kereta berhenti dan kita akan melompat menuju bus kota yang mengantar kita ke tujuan 4 jam ke depan. Lalu kita akan tiba disana disambut asap motor kendaraan, juga terik matahari siang yang rasanya tak jauh lebih panas dari berada di dekat tungku pembakaran. Kota itu teramat panas apalagi bagi kami yang datang dari dataran dengan ketinggian berbeda, karena memang demikianlah Kota Cilegon. Disana kita akan menuju Perumahan Cilegon Indah blok C20,  karena disanalah aku akan tinggal sebulan ke depan bersama alumni yang kebaikannya tak bisa dibayar dengan apapun. Kita beruntung memiliki mereka, karena memang demikianlah tugas mereka untuk senantiasa berbakti kepada almamaternya dimanapun berada. Aku salut, juga paham bahwa kelak aku juga harus melakukan dan mengemban tugas itu. Demikian aku rasa nilai-nilai yang mereka tanamkan melalui kebaikannya.

Esok hari, aku ingin mengajakmu ke perusahaan di ujung Kota Merak. Kita akan berjalan satu menit untuk menuju titik tunggu bus perusahaan itu yang setia menjemput dan mengantar pulang setiap hari tanpa membayar serupiah pun. Dari dalam bus kita nikmati pemandangan bukit-bukit indah nan hijau yang menjadi penyejuk di tengah nafsu dan amarah matahari di atas sana. Dari sini pula dapat kita lihat perusahaan-perusahaan besar yang bertengger rapi dengan cerobong-cerobong asap teramat tinggi. Cerobong asap itulah penanda kehidupan kota yang denyut nadinya dari industri biji plastik, besi, dan sejenisnya. Sampai disana kita akan larut dalam lembar-lembar percakapan tentang safety dan proses industri kimia, juga tugas-tugas khusus yang memusingkan kepala. Namun, aku percaya kita akan melewatinya.

Inginkah kamu kukenalkan dengan keindahan lain tentang kota itu? Rasakanlah debar dada yang tak pernah kamu rasakan sebelumnya karena melihat senyum seorang perempuan yang begitu mudah menawan hati. Tati, namanya. Pandanglah ia lebih lama, lantas dengan mudah kau akan mengatakan "Aih, cantik sekali". Karena demikianlah lelaki, begitu mudah jatuh hati. Nikmatilah pertemuan itu karena sebulan kemudian kamu tak akan bisa menemukannya dimanapun lagi. Senyum itu hanya dapat disimpan dalam potret foto yang kapanpun bisa dirusak virus, maka kusarankan simpanlah dalam mata dan ingatan terbaikmu. Karena memang perpisahan hanya mengajarkan cara mengingat bukan melupakan.

Di satu sore aku akan mengajakmu bermandi cahaya senja keemasan di pulau kecil dengan menyeberang perahu seadanya. Kita siapkan bekal terbaik, ikan bumbu kecap juga ayam bakar bumbu merah yang enaknya tak kalah dengan Rumah Makan Sari Kuring Indah yang terkenal itu. Salah satu dari kita akan membakarnya dengan arang panas yang tak pernah berkeluh kesah mematangkan apapun diatasnya. Beberapa lainnya hanya perlu menyanyikan lagu-lagu bahagia yang menunjukkan bahwa kita betah dan telah melupakan kata sedih. Salah satu lainnya bertugas menghidangkan senja dengan gambar-gambar terbaik, kamu tak perlu bingung karena itu adalah keahlianku. Cukup nikmati apa-apa yang menjadi tugasmu dan padukan dalam selembar nasi, ayam dan ikan yang akan kita lahap bersama. Sesekali lihatlah ke kiri, amati dan dengarlah deru peluit kapal feri yang pergi memulangkan rindu-rindu penumpangnya. Di depan mata, senja semakin menguning. Kita bisa melihat anak gunung krakatau yang gagah tiada tertandingi. Kita habiskan senja ini dengan nuansa dan panorama ciptaan Tuhan. Sesekali aku bisa melihat senyum dan memotret perempuan tadi juga memandangi mata indahnya. Ah, ternyata memang benar, Tuhan menyukai keindahan dan senja itu lebih indah ketika aku melihatnya tenggelam di matanya.

Kini aku pulang. Pada akhirnya segala yang sudah terasa nyaman harus dipisahkan. Aku akan mengajakmu kembali ke kotaku, tunduk dan patuh pada dinginnya kabut di pagi hari. Kita akan kembali berbaur dengan hujan yang konon turunnya tidak mengenal musim. Jauh dari tempatku pulang, diam-diam aku berharap agar suatu saat nanti bisa kembali untuk menjemput takdir Tuhan, lalu mengabarkan bahwa satu bulan disana telah mengubah hidupku jauh lebih baik.

Eki Lesmana

*ditulis saat perjalanan pulang dari dalam bus menuju Stasiun Pasar Senen, Jakarta tanggal 28 April 2018.

"Tati"

Aku melihat perempuan itu di hari keempatku berada di Cilegon. Tatap matanya indah seperti satu senja yang pernah kunikmati dengan secangkir kopi. Cara bicaranya lembut membuatku ingin mendengarnya berulangkali. Ada ketenangan yang kurasakan saat berada di dekatnya.

Perempuan itu mendekat, menyodorkan tangannya "Aku Tati." duh suaranya sungguh mendamaikan. Aku tidak menyalaminya, sudah sejak lama aku tidak lagi menyentuh tangan perempuan. Perempuan itu seperti barang antik yang tak boleh disentuh apabila belum dibeli, ia mahal dan suci, barangkali alasan ini cukup untuk memberi tahumu perihal tindakanku itu. Aku mengenalkan diri lalu mendekatkan kedua tanganku sambil tetap menghormatinya dengan gaya menyalami meski tidak bersentuhan.

Ia tersenyum. Andai kau tahu senyumnya, duh. Tidak ada bahasa satupun di dunia ini yang mampu merepresentasikannya secara utuh. Tidak ada diksi yang pas untuk menggambarkan keanggunannya. Tidak ada majas yang sanggup kupilih untuk menjelaskan betapa manisnya. Perempuan itu luar biasa dan aku rasa, senyumnya melampaui kata-kata. Bersusah payah menjelaskannya dengan kata-kata, aku justru takut, hanya akan mengurangi keindahannya. Maka aku memilih diam dan takjub dalam doa. Benar kata pepatah lama "Smile is the beginning of love." Demikian aku rasa.

Sejak hari itu, aku percaya kalau warna pelangi ke delapan itu benar-benar ada. Aku memandang warna itu di matanya. Matanya teduh serupa suasana malam sebelum hujan tiba. Andai bisa memilih, aku ingin menjadi bagian apa saja di tubuhnya, asalkan bukan air matanya. Air matanya terlalu mahal dan aku tahu tak akan ada jenis bahagia apapun yang mampu membayarnya.

Aku tidak tidak tidak tidak mencintainya. Aku sengaja menulis tidak empat kali agar kau buka lagi buku matematikamu bab negasi. Sederhananya lagi, aku sedang mengaguminya. Tidak berlebihan,  aku memilih mengagumi saja. Dan tentu pilihan itu sudah mengalami perhitungan panjang. Mengagumi adalah bentuk lain dari mencintai yang tidak melibatkan dosa. Mengagumi berarti juga berkontemplasi dalam cinta diam-diam yang tidak pernah melibatkan kehilangan. Mengaguminya adalah mengenai pilihan hidup dan semoga aku tak pernah menyesal pernah hidup dalam keterkaguman.

Suatu hari nanti, aku ingin ada seseorang yang menyandarkan kepalanya di bahuku, agar aku paham bagaimana nikmatnya berbagi beban. Suatu hari nanti, aku ingin ada seseorang yang tiba-tiba kupeluk dari belakang, agar aku paham bagaimana rasanya mendamaikan gemuruh dan debar di dalam dada. Entahlah siapa seseorang itu. Kelak, jika waktu memberiku banyak pilihan, aku hanya ingin perempuan itu yang menjadi subjek dalam kalimat-kalimat dalam tulisan ini. Namun, jika kelak waktu hanya melibatkanku dengan sakitnya kehilangan, alangkah baiknya aku hanya bercanda dengan segala jenis kekaguman ini.

Eki Lesmana

"Menjadi Tidak Tahu"

Kemarin siang ketika memesan Grab car dari Terminal Slipi, Jakarta, ternyata ada banyak sekali pengemudi yang berada di sekitar saya, demikian gambar yang saya lihat menurut aplikasi. Beberapa menit kemudian, salah seorang driver memutuskan mengambil pesanan saya menuju Stasiun Pasar Senen, Jakarta, tapi tiba-tiba si driver mengechat saya melalui aplikasi. "Mau ke Pasar Senen ya, Mas?" saya mengiyakan. Tidak lama kemudian ada telepon masuk, si driver menjelaskan panjang lebar bahwa intinya perjalanan menuju Stasiun Ps. Senen macet total karena ada acara pesta rakyat di Monas. Saya paham yang diinginkan si driver, dia berkata demikian karena tahu dari pengelamannya beberapa jam yang lalu mengantar penumpang menuju ke sana dan butuh waktu hampir dua jam. Luar biasa, padahal normalnya hanya sekitar 15 menit. Saya memaklumi lalu membatalkan pesanan. 

Saya coba pesan lagi. Harapan saya tentu semoga ada driver lain yang berbaik hati mengantar saya. Satu jam hampir berlalu, tak satupun driver yang mengambil pesanan itu. Saya sedikit kesal sebenarnya. Di antara rasa kesal dan kecewa yang berkecamuk itu, tiba-tiba seorang driver mengambil pesanan saya, jaraknya teramat jauh dari tempat saya berada karena yang lain sepertinya memang sengaja tidak mau mengambilnya. Tentu driver lain tidak mau membuang waktu dua jamnya hanya untuk mengantar saya larut dalam kemacetan, apalagi bila waktunya bisa digunakan mengantar orang lain yang baginya akan bermanfaat secara finansial. Pilihan itu jelas dan saya coba memahaminya.

"ke Stasiun Pasar Senen ya, Pak?" demikian saya memulai chat saya di aplikasi. Saya ingin memastikan bahwa si driver memang benar ingin mengantar saya terlepas dari macet atau tidaknya perjalanan menuju ke sana. Pak Driver mengiyakan,  sejurus kemudian kami sudah berada di dalam mobil larut dalam percakapan. Singkatnya Pak Driver tidak tahu bahwa perjalanan menuju ke stasiun memang macet total karena faktanya kami tiba disana butuh waktu sekitar satu setengah jam. Saya lihat wajahnya yang ikhlas lalu berterima kasih atas kebaikannya mengantarkan saya.

Satu hal yang saya pelajari dari pengalaman itu adalah bahwa terkadang 'ketidak tahuan' itu juga dibutuhkan. Tidak tahu bukan berarti bodoh, tapi justru karena ketidak tahuan itu, seseorang kadang bisa berbuat baik dan bermanfaat untuk orang lain. Ketidak tahuan, seperti kata guru agama saya dulu, kadang memang sengaja diberikan Tuhan kepada hambanya agar ia tidak takut menjalani hidupnya sendiri, ia tidak tahu keburukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan orang lain semenit ke depan, karena andai ia tahu, seseorang itu tidak akan berani keluar rumah dan akan selalu di dalam rumah menjadi anti sosial. Dalam konteks yang lebih luas, ketidak tahuan memang kadang lebih membuat orang lain merasa bermanfaat daripada seseorang yang merasa tahu segalanya tapi tak pernah membuat orang di sekekelilingnya merasa diterangi oleh cahaya ilmunya. Ketidak tahuan menuntut seseorang untuk mencari tahu, karena sejatinya menjadi tidak tahu itu anugerah. Dan menjadi seseorang yang tahu adalah amanah.

Eki Lesmana

*Ditulis 29 April 2018 dan baru sempat dimuat sekarang

"Menyalakan Lilin"

sumber gambar : google

Suasana yang tadinya sudah tegang tiba-tiba menjadi semakin tegang ketika saya mulai mengangkat tangan agar diizinkan untuk berpendapat. Di luar kelas tepat suara azan berhenti. Saya memulai pembicaraan. "Maaf Bu, bukan maksud saya untuk menilai siapa yang benar ataupun salah, bukan maksud saya pula untuk menengahi, karena saya tidak punya keahlian untuk kedua hal itu, saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya secara pribadi. Dan pendapat saya bisa saja salah bisa saja benar tergantung sudut pandang kita." teman-teman nampak mulai serius menatap saya di kelas.

Pembicaraan itu saya mulai karena sebelumnya seorang pengajar, Bu Mus namanya, menyampaikan sebuah permasalahan di kampus. Permasalahan ini terkait dengan anak bimbingnya mengenai Tugas Akhir. Konon, Ucok dan Umang telah membuat pembimbingnya teramat geram dan memutuskan untuk undur diri sebagai pembimbing mereka. Masalahnya cukup serius, mereka memalsu tanda tangan Bu Mus dalam 4 form penting termasuk tanda tangan untuk revisi proposal Tugas Akhir. Dan tentu mereka akan mendapat hukuman tegas dari kampus. 

Awalnya saya menyetujui semua yang dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan Ucok dan Umang memang termasuk tindak kriminal yang teramat serius. Karena menurut KUHP tindakan mereka bisa saja mendapat hukuman 6 tahun penjara. Saya memahami situasi ini dan maklum atas keputusan Bu Mus untuk mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena kecewa berat. Saya mencoba berempati.

Namun semakin lama apa yang disampaikan Bu Mus semakin cenderung menyerang secara personal kepada Ucok dan Umang. Saya mulai tidak nyaman dengan obrolan itu. "Ucok dan Umang memang alim, pintar, juga pendiam tapi bagi saya semua anggapan itu sudah berubah. Mereka seperti penjahat kelas kakap. Memang banyak orang di dunia ini yang pintar. Tapi kita tidak tahu dia pintar dalam hal apa. Bisa jadi pintar nipu." Demikian Bu Mus meneruskan percakapan itu. Saya semakin tidak nyaman.

Saya meneruskan pembicaraan tadi. "Saya termasuk kawan yang juga turut mengikuti proses Ucok dan Umang hingga sejauh ini. Mulai tahap sidang proposal dan sampai di tahap revisi sejauh ini. Saya menghargai mereka karena saya tahu mereka saat itu kesulitan mendapat judul dan sampai pada tahap ini adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi. Saya juga tahu keadaan Ibu saat itu juga sedang drop dan tentu menunggu judul yang sudah dijanjikan oleh pembimbing hingga jelang sidang proposal bukanlah hal yang mudah."

"Saya mencoba berempati kepada Ibu juga kepada mereka. Saya sangat setuju apabila Ibu menyalahkan mereka karena tindakannya, karena saya juga mengutuk perbuatan itu. Tapi maaf Bu, saya tidak bisa menerima apabila Ibu menyerang mereka secara personal dengan mengatakan hal-hal seperti yang Ibu katakan tadi." Kelas semakin lengang dan fokus menatap saya. Ucok dan Umang turut memperhatikan. 

"Kita bisa lihat tembok di depan kita, apabila tembok ini pertama kali dibangun oleh tukang bangunan dan ada satu batu bata saja yang miring tentu kita akan langsung menyalahkan si tukang itu. Wah tukangnya gak pinter nih, tukangnya udah dibayar mahal-mahal tapi gak becus. Barangkali seperti itu sikap kita. Tapi kita lupa satu hal bahwa diantara satu batu bata yang miring itu masih ada ratusan batu bata yang berdiri kokoh. Kita terlalu fokus pada keburukan orang lain hingga lupa pada kebaikan yang semestinya diapresiasi." demikian saya melanjutkan.

"Alangkah baiknya kalau Ibu menyampaikan pendapat yang apabila ditujukan secara personal disampaikan empat mata saja. Karena menurut saya menjelek-jelekkan seseorang di depan umum bukanlah hal yang bijak. Kalau toh sebagai pengalaman agar tidak terulang lagi maka cukup mengutuk perbuatannya tidak perlu pada personalnya." Saya fokus menyampaikan pendapat pada Bu Mus.

Sejurus kemudian Bu Mus menyanggah menyampaikan apa-apa yang menurutnya benar. Saya paham itu, beliau terlalu kecewa dan sampai pada tahap membenci. Apakah pendapat dan saran saya ditolak mentah-mentah? Entahlah saya tidak paham itu. Seperti kata John F Kennedy, alangkah baiknya sebagai manusia kita menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan. Karena mengutuk gelap tak akan merubah apapun, namun menyalakan satu lilin akan menerangi kegelapan-kegelapan itu. 

Eki Lesmana

*cerita ini mungkin saja sama dengan kejadian-kejadian kecil di sekitar kita, maaf apabila ada kesamaan nama.