Matahari
mulai terbenam di ufuk senja. Sepertinya ini terlalu sore, pikir saya senja
itu. Sementara dari balik handphone berkali-kali telepon masuk dari Ali
(@alisaifudin_) yang tidak sempat saya angkat. Hari itu saya disibukkan dengan
job dari pagi hingga sore hari. Azan maghrib berkumandang, terdengar dari
masjid-masjid di Kota Malang. Matahari semakin menutup diri. Saya memutuskan
segera pulang ke kos untuk membersihkan diri, packing, dan bersiap-siap untuk
berangkat untuk menjemput Ali di Krian, Sidoarjo.
Perjalanan
ini saya mulai dari Kota Malang dengan beberapa lelah bercampur kantuk yang
masih berkecamuk di dalam diri. Selepas maghrib saat jalanan di kota ini mulai
lengang, saat wajah-wajah lelah para pencari kerja mulai merindukan keluarganya
di rumah, saya berangkat menuju rumah Ali. Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB
saat saya melihat wajah ceria Ali di dekat rumahnya.
Belum
lama berkendara di atas motor, hujan tiba-tiba membasahi jalanan yang masih
penuh dengan kepul asap kendaraan. Kami berhenti sejenak, mencari musholla
untuk melaksakan kewajiban sholat Isya sambil menunggu hujan reda. “Berangkat
jam berapa, Mas?” Saya lihat HP Ali menyala dengan sebuah chat atas nama Mas
Jalod (@jal_od). Ya, Mas Jalod adalah kawan baru yang akan kami kunjungi di
Kota Ponorogo sana yang kami kenal melalui Instagram. Di bayangan saya
mendengar nama Jalod adalah seseorang anak kota yang keren berwajah tua dan
galak, saya menerka-nerka saja dan semoga tebakan saya itu keliru.
Satu
jam berlalu, pukul 21.30 WIB hujan berhenti. Jalanan tampak ramai lagi oleh
kendaraan-kendaraan berplat W milik Sidoarjo. Dan ini menandakan bahwa kami
harus berangkat lagi menempuh perjalanan 190 Km. Mungkin perjalanan ini akan
terasa melelahkan, tapi saya percaya satu hal bahwa sebuah destinasi yang indah
selalu butuh usaha yang melelahkan pula. Dan semoga saat tiba disana kalimat
itu benar adanya.
Baru
45 menit berlalu rasa kantuk sudah menyerang saya. Ali yang sedari tadi saya
bonceng saya pastikan tidak mengantuk untuk bergantian membonceng saya.
Bukannya tambah mengantuk saat dibonceng, adrenalin saya rasanya terpacu dengan
kecepatan motor yang dikendalikan oleh Ali. Saya was-was dan takut apalagi
jalanan di sepanjang kota Jombang menuju Madiun sedikit sekali penerangan,
ditambah lagi banyak truk-truk besar, dan banyak lubang yang tidak terlihat
oleh lampu-lampu kendaraan. Perasaan saya benar, 15 menit mengendarai motor,
kami mengenai lubang besar di jalanan, ban belakang saya tiba-tiba kempes. Ini
pasti bocor, begitulah pikiran saya saat itu. Untungnya ali bisa mengendalikan
motor sehingga tidak terjatuh dan pelan-pelan menepi ke pinggir jalan.
10-15
menit berikutnya kami habiskan untuk mencari tambal ban. Siapa juga tukang
tambal ban yang buka jam segini? Batin saya berkecamuk sendiri. Untungnya di
salah satu tambal ban yang tutup terdapat nomor telepon yang bisa saya hubungi.
Kami berada disana sejenak sambil istirahat hingga pukul 23.30 WIB. Lama? Iya
ban belakang saya sobek dan bocor agak banyak. Mungkin ini salah satu cara
Tuhan agar kami beristirahat sejenak.
Pukul
03.00 kami sampai di Ponorogo dan saya kabari Mas Jalod melalui WA. Kami
dijemput dan setengah jam kemudian kami sampai di rumahnya setelah melewati
jalanan yang gelap tanpa lampu, berlubang, dan sepi. Saat sampai di rumahnya
barulah saya bisa mengetahui wajah Mas Jalod secara detail. Dugaan saya
sebelumnya tak ada yang benar dan berbeda 180 derajat. Mas Jalod adalah pemuda
berkulit putih yang perawakannya ideal dengan tinggi rata-rata.
Rumahnya sederhana, beberapa tampak
belum jadi. Di depan ada gundukan pasir. Saat saya tanya untuk apa, ternyata
untuk bahan baku membuat batako. Kami istirahat di ruang tengah, suguhan kopi
yang diberikan tak kami minum. Kami mengantuk berat. Tidur sejenak dan harus
bangun lagi 04.30 WIB untuk menuju destinasi yang ingin kami kunjungi. Bukit
Cumbri. Kami akan datang.
“Mas, bangun mas. Ayo berangkat”
suara itu membangunkan kami. Saat saya melihat jam ternyata sudah pukul 04.30
WIB. Kami pun segera bersiap-siap lalu berangkat beberapa menit kemudian.
Pagi masih gelap dan dingin. Motor
kami menerabas ke sawah-sawah dan jalanan berbatu. Sepertinya ini jalan pintas,
pikir saya. Setengah jam kemudian kami sampai di Bukit Cumbri, Wonogiri, Jawa
Tengah. Kami parkir sepeda. Saat saya ajak untuk naik bersama, Mas Jalod dan
temannya Mas Tesar menolak. “Maaf mas, kami belum tidur semalaman menunggu mas
datang.” Katanya dengan disertai wajah yang teramat mengantuk. Saya yang
kasihan mengiyakan dengan perasaan agak bersalah. Sayang sekali, kami tidak
bisa berfoto bersama.
Kami (aku dan Ali) menaiki bukit
untuk menuju puncak. Batu-batuan kapur berwarna putih kecoklatan menyambut
kami. Pohon-pohon hijau di sekitarnya tampak melambai-lambai agar kami segera
naik. 20 menit kemudian kami sudah di puncak Cumbri. Kami kaget. Monyet-monyet
melompat kesana kemari. Untungnya monyet-monyet ini tidak buas.
|
Sunrise di Bukit Cumbri |
Tidak lama kami
berada di puncak Matahari di Timur tampak memesona. Guratan langit berwarna
kemerahan seolah mengatakan bahwa selain melelahkan bahagia bisa didapatkan
dari hal-hal yang sederhana, melihat matahari terbit di puncak cumbri,
misalnya. Sungguh indah. Bukit-bukit tampak berbaris di selatan, sebagian
tinggi sebagian rendah seperti gelombang panjang yang saya pelajari sewaktu SMA.
Lebih jauh lagi ke selatan tampak pula bukit-bukit berwarna biru yang tampak
memesona dengan kabut tipis. Ke utara sedikit matahari merekah kemerahan. Di
bawah bukit-bukit itu tampak tumbuhan hijau dimana-mana dan beberapa pemukiman
warga. Dari atas sini kami bisa melihat perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah,
Ponorogo dan Wonogiri.
|
Salah satu monyet yang habis saya lempari roti |
2 jam kami habiskan untuk memotret
pemandangan disana. Beberapa kali monyet-monyet mendekat saat saya beristirahat
dan makan roti. Saya tahu mereka pasti lapar. Saya lempari beberapa cuil roti
sampai habis. Sebagian yang tak mendapat roti terlihat kesal, tapi tak sampai
menjadi buas. Lain kali kalau saya datang lagi, akan saya bawakan makanan untuk
mereka.
|
tampak Ali berdiri di atas batu |
|
Ali berdiri lebih tinggi |
|
lelah, akhirnya Ali memutuskan untuk duduk |
|
Saya juga lelah, akhirnya duduk juga motret kaki |
Kamipun menuruni bukit. Lelah kami
terbayar dengan keindahan yang tak akan mampu dibayar dengan harga berapapun.
Lukisan Tuhan yang sungguh luar biasa. Saat kami tiba di parkiran sepeda Mas
Jalod dan Mas Tesar masih tertidur pulas. Kami membangunkannya perlahan.
Mengopi, makan gorengan tempe, juga mengobrol sejenak.
“Tiga ribu mas per sepeda” kata bapak
tukang parkir. Dari situ saya paham bahwa menuju ke bukit cumbri begitu murah,
tanpa tiket masuk. Hanya membayar parkir saja. Setelah membayar kamipun kembali
menuju rumah Mas Jalod.
Di
perjalanan menuju rumah Mas Jalod kami berhenti sejenak di warung makan. 4
piring penuh nasi dan sayur pecel terhidang di depan kami disertai 2 tempe daun
per piringnya. Tempe daun adalah tempe yang difermentasi dengan cara dibungkus
menggunakan koran ataupun daun. Tempenya tipis namun sangatlah besar dan lebar.
Digoreng dengan tepung dan saat dimakan akan terasa bunyi “kriuk”. “Berapa ini
mas satu piring?” saya bertanya penasaran karena melihat begitu banyak satu
porsi. “3 ribu mas” kata Mas Jalod santai sambil makan pecel. “Murah ya, Mas?”
katanya lagi memastikan. Bukan hanya murah, bahkan saya tidak habis memakannya.
Lihatlah terlalu banyak hingga perut saya tidak kuat.
Setelah
sarapan kami kembali menuju rumah Mas Jalod, membersihkan diri, beristirahat
sejenak, dan bersiap-siap berangkat lagi siang nanti menuju ke Karanganyar,
Jawa Tengah. Akan saya ceritakan di Judul yang lain agar tulisan ini tidak
terlalu panjang. Terimakasih sudah membaca.
0 komentar:
Posting Komentar