Bulan Mei, 2016
Saya
membaca dengan saksama, penuh perenungan dan sesekali meneteskan air mata. Tulisan
di blog itu sukses membuat saya tertampar sebagai lelaki karena saat itu saya
berada pada posisi yang cukup galau. Saya baru saja patah hati dan kebetulan
menemukan bacaan yang tanpa sengaja membuat saya kembali menatap ke depan. Blog
itu ditulis oleh Mbak Ghea, saya tidak tahu siapa dia tapi kisah yang
ditulisnya mengharukan sebab ditulis berdasarkan pengalaman pribadi yang
teramat inspiratif.
Konon,
Mbak Ghea waktu itu berumur 20 tahun dan sedang dekat dengan seorang lelaki kurang
lebih 5 tahun lamanya. Dekat tapi tidak pacaran, dekat tapi tidak bersentuhan.
Begitu kiranya saya memahami prinsip Mbak Ghea dalam menjalin hubungan. Dari
kisahnya mereka agaknya cocok satu sama lain, sering bertukar pikiran, memiliki
kesamaan dalam beberapa hal, dan tentu memiliki kedekatan yang spesial jika
dibandingkan dengan lelaki yang lain.
Namun
badai datang tak pernah dikira, hujan turun tak sekalipun diminta, Mbak Ghea
tiba-tiba dilamar oleh orang lain yang sama sekali menurut perhitungannya tak
pernah dikenalnya, Mas Hanif namanya. Lelaki itu tiba-tiba menyampaikan maksud
untuk mendatangi orang tuanya. Mbak Ghea bingung, jelas, itu bukan perkara
mudah apalagi ketika dihadapkan dengan dua pilihan perihal jodoh.
Satu
bulan setengah berlalu semenjak maksud baik Mas Hanif, akhirnya Mbak Ghea
memberikan lampu hijau setelah melalui proses panjang, doa-doa juga istikharah
yang berkali-kali. Saya tidak akan menceritakan ulang prosesnya karena saya
justru takut akan mengurangi kisah inspiratif di dalamnya, maka lebih baik dibaca
langsung dari blog penulisnya di link berikut : https://gheasafferina.blogspot.co.id/2016/04/newchapter-01-begining-of-everythings.html
Semenjak
membaca tulisan itu saya menjadi sadar satu hal bahwa yang bertahan
berlama-lama bersama kita belum tentu menjadi seseorang yang bertahan menjadi
jodoh kita. Cinta yang indah, seperti kata Mbak Ghea, adalah cinta yang
dibangun bersama sesudah akad bukan sebaliknya. Kebanyakan kita terlalu sering
mencintai orang lain tapi tidak berani mengutarakan maksud baik kepada orang
tunya, saya sendiri sadar itu, dan benar perempuan sejatinya butuh kepastian
bukan cinta mati-matian saja. Kita barangkali hanya perlu menjemput takdir
dengan ikhtiar-ikhtiar bukan menunggu apalagi mendahului dengan menjadikan
orang lain kekasih sebelum menikah. Kita hanya cukup percaya dan berusaha,
bahwa diantara seperempat milyar manusia di Indonesia salah satunya pasti jodoh
kita.
14 Mei 2018
Beberapa
bulan lalu saya mengajukan diri ke Mas Hanif agar bisa magang di rumahnya untuk
belajar fotografi dan videografi pernikahan. Hitung-hitung sebagai pengalaman
dan mencari kesibukan sebelum datang kesibukan lain jelang sidang kuliah saya
pertengahan tahun ini, juga tentu agar bisa kenal secara langsung bukan hanya
tahu cerita inspiratifnya melalui tulisan saja. Saya pun diterima dengan baik
oleh Mas Hanif dan Mbak Ghea. Waktu itu Mbak Ghea masih hamil 7 bulan namun
masih tetap sibuk bekerja membantu Mas Hanif di beberapa acara pernikahan.
Kalau ada sosok inspiratif yang bisa mengilhami banyak perempuan selain Kartini
mungkin Mbak Ghea adalah perempuan itu. Semangat dan kegigihannya sungguh patut
diteladani.
Pagi
ini saya mengunjungi rumah Mas hanif dan Mbak Ghea untuk bersilaturahmi
sekaligus menjenguk Kafa, bayi laki-laki mungilnya. Tidak terasa dua tahun
berlalu semenjak pertama kali saya membaca kisah jelang pernikahan mereka di
blog Mbak Ghea. Rasanya mustahil untuk kenal mereka tapi tidak disangka kini
menjadi akrab seperti memang sudah kenal lama saja. Karena sosok mereka berdua
selain lucu, memang Humble dan mudah
sekali akrab dengan orang lain.
Foto bersama Rizal, Kafa, dan Mas Hanif
“Assalamualaikum”
tiga kali saya dan Rizal, kawan saya, mengetuk pintu rumahnya dan kemudian dipersilakan
masuk oleh Mas Hanif ke ruang tamu di lantai satu. Pagi ini rambutnya tampak
berantakan namun sambutan dan keramahannya tetap saja selalu rapi, sebuah ciri
khas yang selalu ditunjukkan olehnya. “Masih sibuk edit foto di atas” katanya
saat saya tanya sedang sibuk melakukan apa kok
rambutnya acak-acakan. Sejurus kemudian Mas Hanif naik ke atas dan turun lagi
menggendong Kafa, anaknya. Aih, lucu sekali, rambutnya gundul dan pipinya mumpluk menggemaskan. Bayi itu murah
senyum dan tidak mudah menangis jika dibandingkan dengan bayi lain seumurannya.
Foto bersama Mbak Ghea, Mas Hanif, Kafa, dan Rizal
Tidak
lama kemudian, Mbak Ghea turun membuatkan minuman lalu duduk di samping Mas
Hanif, sementara Kafa bergantian dipangkuan saya dan Rizal. Kami mengobrol ke
sana sini sebelum pada akhirnya memfokuskan obrolan mengenai jodoh dan
pernikahan. Untuk pertama kalinya saya mendengar langsung kisah yang pernah
saya baca dua tahun lalu, kisah yang seringkali saya share kepada teman-teman
saya saat mereka galau, kisah haru yang pernah membuat saya terinspirasi, karena
sejak membaca kisah itu sedapat mungkin saya tidak lagi memegang perempuan yang
bukan mahram, semenjak merenungi kisah itu saya juga sebisa mungkin tidak lagi
berboncengan dengan perempuan lain selain yang memang dihalalkan untuk saya.
Kisah itu sedikit banyak mengubah hidup dan prinsip saya perihal perempuan dan
percintaan. Kisah itu sungguh berkesan bagi saya dan beruntungnya bisa mengenal
mereka berdua.
“Sebenarnya
jodoh itu seperti apa sih Mas Mbak? Apakah ketika kita berada di dekatnya
merasa aman, nyaman, tenang apakah itu jodoh kita?” Saya memulai obrolan serius
itu setelah sebelumnya membicarakan banyak hal mengenai bayi dan proses
persalinannya yang bagi kami (saya dan Rizal) itu masih terlalu jauh dan
visioner, apalagi mengingat kami masih hendak lulus kuliah. Obrolan sebelumnya
memang penting tapi ada yang jauh lebih penting dari itu, jodoh. Membicarakan
tentang jodoh sejatinya adalah membicarakan pilihan-pilihan mengenai sosok ibu
atau bapak seperti apa yang akan kita hadirkan di masa depan nanti untuk anak
kita dan jelas itu teramat penting. Sekali salah pilih orang, bisa berantakan
hidup satu keluarga. Barangkali benar kata Kartini, ibu atau bapak yang baik
akan melahirkan anak yang baik pula.
Mas
Hanif membenarkan tempat duduknya dan mulai serius. “Belum tentu begitu, jodoh
itu sebenarnya adalah hasil dari usaha-usaha kita selama ini, kalau kita memang
serius mencari yang baik dan berbuat baik InsyaAllah juga akan mendapat yang
baik pula.”
Mas
Hanif kemudian menceritakan kisah yang mungkin belum ditulis Mbak Ghea di
blognya. Sebelum melamar Mbak Ghea, katanya, dia sudah mengalami penolakan
lamaran pernikahan selama tujuh kali. Mas Hanif memulai lamaran pertamanya
sejak masih kuliah semester empat. Cukup mengejutkan memang, apalagi bagi saya
yang sudah semester akhir dan belum melamar siapapun. Ah itu soal lain.
Usaha-usaha dan penolakan itu lah yang pada akhirnya mempertemukan Mas Hanif
dan Mbak Ghea dalam penerimaan yang baik oleh semesta.
Sesekali
Mbak Ghea juga menyela “Lha yo iki sopo seh kenal yo enggak kok moro-moro
ngelamar aku?” (“Lha iya ini siapa sih, kenal juga tidak kok tiba-tiba melamar
aku”), dan jelas kalimat itu disambut tawa kami berempat. Tapi justru dari
ketidak kenalan itu Mbak Ghea jadi penasaran dengan Mas Hanif. Satu poin yang
saya ambil dari Mas Hanif, menjadi misterius memang perlu.
Saya
yang cukup penasaran melanjutkan pertanyaan berikutnya “Lalu bagaimana mengenai
istikharah yang seharusnya dilakukan untuk memastikan bahwa seseorang itu
benar-benar jodoh kita?” pertanyaan ini cukup penting karena setelah berusaha
sedemikian rupa maka langkah selanjutnya adalah memastikan dan memasrahkan
pilihan kita kepada Allah semata.
“Istikharah
bermacam-macam bentuknya, kalau saya dan Mas Hanif dulu melalui istikharah
Al-Quran, yaitu dengan cara kita sholat dulu lalu berdoa kepada Allah kemudian
membuka Al-Quran secara random, lalu buka lagi 7 halaman setelah bukaan pertama
itu, kemudian kita cek ayat yang ke 7 dari atas. Kebetulan waktu itu saya dapat
surat an-nur ayat 32 yang berisi tentang perintah pernikahan dan ajaibnya ayat
itu sama dengan yang ditunjukkan Mas Hanif ketika istikharah. Namun ketika saya
melakukan istikharah untuk seseorang yang dekat dengan saya selama 5 tahun
jawabannya dari Al-Quran adalah mengenai larangan-larangan berbuat sesuatu”
Kali ini Mbak Ghea yang menerangkan kepada kami sebelum Mas Hanif yang
menambahkan. Saya dan Rizal serius menyimak pembahasan ini.
“Jawaban
istikharah tidak selalu melalui mimpi atau seperti kata Ghea tadi, jawaban
istikharah bisa juga melalui tanda-tanda alam, misal ketika ikut pengajian si
ustadz membahas masalah pernikahan dan perintah agar segera menikah atau bisa
juga saat membeli buku tiba-tiba kita menemukan kalimat yang relevan dengan
seseorang yang dekat dengan kita, banyak sekali kuasa Allah. Tugas kita hanya
berusaha mencari dan memahaminya” demikian Mas Hanif menambahkan, cukup lengkap
dan detail.
Jawaban
itu sekaligus mengakhiri kunjungan kami ke sana. Banyak ilmu yang didapat dan
kami semakin paham tentang hakikat jodoh dan pernikahan bahwa sejatinya jodoh
bukanlah puncak gunung yang akan menunduk pada kaki manusia, tapi kekuatan,
kegigihan, serta usaha keras agar kaki kita bisa sampai di puncaknya. Seperti
kata Jon dalam film serendipity, bahwa
untuk menjalani hidup yang selaras dengan alam semesta, kita hendaknya memiliki
keyakinan yang kuat akan apa yang disebut nenek moyang manusia sebagai ‘fatum’
atau yang dewasa ini kita sebut ‘takdir’. Jodoh memang ditangan Tuhan, tapi
ikhtiar kita lah yang akan menentukan sampai tidaknya jodoh itu di tangan kita.
Eki
Lesmana