Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Minggu, 24 Desember 2017

"KESAN ORANG TENTANG SEBUAH NEGARA"



Video diatas adalah saat saya bersama Noah dan Severin sedang melakukan sesi sharing editing foto. (video by Rizal)

Noah dan Severin adalah dua pemuda berusia 19 tahun yang berasal dari Swiss yang selama beberapa bulan terakhir sedang keliling dunia dan pada tanggal 10-15 desember 2017 mereka berada di Malang, setahu saya sebelum ke Malang mereka berada di China, Bandung dan Yogyakarta.

Singkat cerita saya mengenal mereka ketika saya tahu story Noah bahwa akan mengunjungi Indonesia pada bulan desember ini. Saya pun memutuskan untuk me-reply story tersebut dan mengatakan bahwa saya bisa menemaninya melakukan perjalanan untuk explore destinasi di sekitar Malang jika saya sedang luang tidak ada jam kuliah. Akhirnya kami pun bertukar nomor WA agar memudahkan komunikasi. Bagi saya instagram bukan sekedar tempat untuk mengupload foto selfie, mencaci yang tidak sepemahaman, komentar buruk diakun orang lain, atau sekedar hal-hal yang tidak penting lainnya. Instagram adalah tempat kita belajar tentang berkoneksi dengan orang-orang yang konon jauh disana yang tidak sekota, sepulau, bahkan senegara dengan kita. Bahkan saya tidak setuju jika ada orang yang anti dengan suatu media sosial karena alasan tertentu, saya rasa tidak sebegitunya juga. Tergantung paradigma kita saja.

Jujur, meski saya tidak begitu baik dalam bahasa inggris tapi saya rasa perlu juga melatihnya dengan berkomunikasi langsung dengan teman baru seperti mereka. Singkat cerita, saya pun hanya bisa mengantarkannya pada hari kamis, 14 desember 2017 ke Air Terjun Madakaripura di Probolinggo, 2 jam dari kota Malang. Kami berangkat pukul 6 pagi dan sampai sekitar pukul 8 pagi. Sesampainya disana Noah mengeluarkan beberapa bekal makanan yang ia bawa dari homestay yang ia sewa di Malang. Saat berjalan kaki menuju air terjun Noah beberapa kali menawari saya apa yang ia makan. Dan sampah plastik yang ia bawa tak pernah ia buang sembarangan. Ia selalu membawanya sampai ia menemukan sampah, baru ia akan membuangnya. Bahkan ketika ada tempat sampah yang roboh ia pun merapikannya. Saya banyak belajar darinya tentang kebersihan lingkungan. Lihatlah betapa pedulinya ia tentang kebersihan. Harusnya kita malu yang kadang membuang sampah sembarangan. Barangkali benar kata seorang dosen UGM Pak Made, kesan orang tentang sebuah negara kadang bisa diwakili oleh satu orang saja. Saat itu pula saya percaya bahwa orang-orang Swiss adalah orang-orang yang menjaga kebersihan, meskipun saya tahu tidak semua orang seperti itu. Tapi paling tidak kesan pertama saya tentang Swiss adalah apa yang saya dapatkan dari yang Noah lakukan. (Oh iya Severin tidak ikut ke air terjun karena sedang sakit).

Setelah beberapa kali memotret di air terjun kamipun pulang ke Malang dan berencana akan sharing tentang editing foto, juga perbedaan antara Indonesia dan Swiss.

Malam pun tiba, saya memutuskan mengajak teman saya Rizal untuk ikut sharing tentang ini. Kami pun berangkat menuju homestay yang mereka sewa di depan MOG- sebenarnya masih masuk-masuk ke gang. Sesampainya disana kami langsung belajar dan sharing tentang editing foto-meski sebenarnya saya yang belajar darinya.-

Selesailah setengah jam sharing tentang editing foto. Kami memulai pembicaraan lebih serius tentang perbedaan antara Indonesia dan Swiss.

1. Kali ini kami bertanya soal pendidikan. Dia (Noah) bercerita bahwa pendidikan di Swiss sampai 12 tahun, namun selama 9 tahun pertama disebut primary school dan 3 tahun berikutnya adalah senior high school. Saya rasa tidak beda jauh dengan Indonesia.

2. Selanjutnya kami bertanya tentang dari mana uang yang ia dapatkan sehingga bisa keliling dunia. Dia pun menjelaskan bahwa semenjak dia SMA ia sudah bekerja di sebuah perpustakaan, sehingga dari uang itu lah dia bisa berkeliling dunia termasuk mengunjungi Indonesia. Jelas beda ya dengan kita, kita kalau SMA, sekolah-sekolah saja. Dan pas lulus ya lulus saja. Kalau mereka memang sudah punya planning untuk keliling dunia dengan uang itu.

3. Eits, tapi kok bisa ya dengan bekerja di perpustakaan saja bisa keliling dunia? Dia menjelaskan bahwa di Swiss memang gajinya besar. Dia menganalogikan dengan pekerjaan tukang becak di Swiss jika bekerjanya malas pun bisa mendapatkan gaji 1 juta rupiah perhari. Woooah. Sungguh luar biasa. Oh ya, Severin tidak bekerja di perpustakaan, tapi dia mendapatkan uang dari bermain musik.

4. Selanjutnya mereka tidak mau kalah untuk bertanya dengan antusias, "kebutuhan orang Indonesa rata-rata seumuran kita itu berapa?" Rizal menjelaskan normalnya kalau kuliah ya kurang lebih selama satu bulan 1 juta sudah cukup. Mereka pun heran, lalu mengatakan "normalnya di swiss Rp 1 juta itu untuk satu hari saja. Sebab disana kebutuhan juga mahal-mahal, bayangkan kamu minum secangkir kopi saja bisa jadi Rp 150K."

5. Kami beralih soal kemampuan bahasa inggris, saya bertanya mereka belajar bahasa inggris dari mana. Noah menjelaskan bahwa ketika senior high school di sekolahnya diwajibkan untuk belajar ke london selama 2 minggu. Dan tentu dia sudah belajar sedari kecil. Di primary high school pun juga demikian sudah dilatih untuk menggunakan bahasa inggris. Kalau di bandingkan dengan Indonesia saya kira kita juga belajar sudah mulai SD semua ya, bedanya kita belum ke London

6. Saya sempat mengetahui ketika Noah berbicara dengan Severin menggunakan bahasa yang berbeda, kamipun bertanya sebenarnya di Swiss itu menggunakan bahasa apa? Mereka menjelaskan bahwa untuk bahasa keseharian adalah bahasa campuran antara Swiss-Jerman. Namun untuk bahasa formal seperti sekolah, surat, email dll adalah menggunakan bahasa jerman. Barangkali sama seperti bahasa jawa dan Indonesia saya rasa.

Selanjutnya kami lebih banyak bertanya tentang negara-negara apa yang mereka kunjungi, pengalaman-pengalaman mereka selama di negara tersebut hingga pukul 9 malam. Tampak wajah mereka sudah lelah dan kantuk. Saya rasa mereka butuh istirahat karena keesokan harinya 15 Desember harus naik kereta api menuju ke Jakarta sebelum terbang ke Swiss. Saya pun menutup sharing ini dengan pertanyaan terakhir. "Bagaimana pendapat kalian tentang Indonesia?" Noah menjelaskan cukup detail "Orang-orang Indonesia cukup ramah, berbeda dengan negara-negara yang sudah saya kunjungi, saya rasa orang Indonesia harus bersyukur, karena meskipun di Swiss pendapatan kami besar namun pengeluaran kami juga besar. Ketika saya berkunjung ke Afrika begitu menyedihkan sekali, banyak orang kelaparan disana. Tapi di Indonesia saya kira sudah berkecukupan. Dan saya senang bisa bertemu dengan warga lokal seperti kalian, sehingga saya tahu bahwa orang Indonesia memiliki sopan santun dan sambutan yang baik terhadap turis mancanegara."

Begitulah sedikit pengalaman yang saya tuliskan. Dan benar lihatlah, sebuah negara cukup diwakili oleh satu orang saja. Saya rasa bukan negara saja, bahkan sebuah agama, komunitas, keluarga atau lainnya. Satu orang sudah cukup untuk mewakili sesuatu yang lebih besar. Karena kita pada dasarnya selalu belajar, melihat, menilai dari sampel atau contoh yang ada.

Maka suatu saat kita akan ada di bagian terdepan mewakili komunitas di belakang kita, entah itu keluarga, agama, sekolah, kampus, pulau, bahkan negara kita. Kita haruslah menjadi sampel dan contoh yang baik. Karena sesuatu yang besar akan dinilai dari hal-hal yang kecil. Maka sedini mungkin persiapkan diri agar bisa menjadi contoh yang baik.

0 komentar:

Posting Komentar