Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Minggu, 24 Juni 2018

Arab, Jawa, Cina

  • Foto : kiri Hasan, tengah saya, kanan Reza

    Ada satu kejadian menarik di tahun 2009 waktu saya masih duduk di bangku SMP. Seringkali saya hanya memilih teman berdasarkan kesamaan suku, agama, ras, dan tak jarang mengucilkan mereka yang tampak berbeda dari yang lain. Ya, saya tahu ini buruk dan ada baiknya tidak perlu dicontoh.

    Waktu itu saya hendak berkelahi dengan seorang arab dari kelas lain karena saya pernah mengejeknya "Hey, kepala lele" demikian kata saya ketika dia lewat di depan kelas saya. Wajahnya tampak marah lalu menghampiri saya dan tentu teman-teman kelas mencoba membela saya. Kami menang kuantitas dan tentu dimana pun itu minoritas harus mengalah, dia pun akhirnya pergi. Kejadian itu terus berulang beberapa kali sampai akhirnya kami sendiri yang jenuh.

    Pernah juga ketika SMP saya berprasangka bahwa memiliki teman bermata sipit (Cina) itu tidak asik, sok pintar, sok kaya, atau apapun itu. Demikian asumsi saya waktu itu. Alhasil saya tak pernah akrab dengan orang-orang yang memiliki keturunan Cina.

    9 tahun berlalu, saya sadar ternyata asumsi-asumsi yang saya bangun selama ini ternyata salah. Kini saya malah berkawan baik dengan Hasan, keturunan Arab yang dulu saya sebut kepala lele, dan Reza, yang keturunan Cina. Ternyata justru karena adanya perbedaan itu saya bisa banyak belajar dari mereka. Hasan yang seringkali melucu khas arab-arab 'rapatigena' atau Reza yang lebih sering diam dan baru mulai bercerita sesuatu ketika saya pancing dengan pertanyaan-pertanyaan. Keduanya memiliki gaya masing-masing dan justru karena gaya yang berbeda itu kami bisa akrab satu sama lain.

    Dulu tak jarang saya menilai seseorang hanya dari kulit luarnya saja, bahkan teramat sering. Ketika tumbuh dewasa saya semakin sadar bahwa sebenarnya untuk bisa bersatu dengan orang lain yang diperlukan adalah bisa menghargai perbedaan. Kuncinya tetap sama bahkan untuk komunitas yang jauh lebih besar dari itu. Antar agama, ras, suku bisa rukun juga karena sikap saling menghormati. Indonesia bisa tentram juga karena Bhinneka Tunggal Ika-nya. Tak jarang komunitas yang lebih besar itu cukup diwakili dengan perbuatan kita sehari-hari. Karena kita selalu menilai sampel dari segala sesuatu yang lebih besar. Pelangi indah karena adanya perbedaan warna, bukankah demikian?

Eki Lesmana

*ditulis 29 Mei 2018

"Lupa Mengapresiasi"

  • Ada banyak hal mengejutkan dari final liga Champion semalam yang digelar di Kiev, Ukraina. Pertandingan Real Madrid vs Liverpool itu awalnya berjalan alot. Masing-masing tim masih sangat berhati-hati di babak pertama. Alhasil tidak ada satupun gol pun yang tercipta.

    Ada satu catatan penting yang perlu disorot di babak pertama, adalah cideranya Moh Salah akibat benturan dengan Sergio Ramos. Hal ini tentu berakibat serius karena Salah harus keluar lapangan dan diganti dengan Adam Lallana pada menit 31. Keputusan Klopp ini tentu berisiko, namun itu harus dilakukan demi kebaikan Salah sendiri yang akan bermain di piala dunia untuk mesir 18 hari lagi.

    Apakah penonton kecewa? Pertanyaan semacam ini sudah jelas jawabannya, apalagi Salah saat ini sedang menjadi icon pesepakbola muslim yang namanya kian tenar, bahkan beberapa pendukung liverpool mengungkapkan keinginannya memeluk Islam karena mendapat hidayah melalui keajaiban-keajaiban yang sering Salah lakukan saat pertandingan sepakbola. Kekecewaan itu pasti, dan bagi saya semenjak menit 31 itu pertandingan sudah tidak menarik lagi.

    Terlepas dari ditariknya Salah keluar lapangan pertandingan, ada hal menarik lain yang saya amati. Pendukung Liverpool khususnya pendukung Salah kerapkali menyalahkan bahkan mencaci dan menghujat Sergio Ramos dengan kata-kata yang teramat kasar. Hal ini bisa dilihat dari akun instagram Sergio Ramos (@ sergioramos). Saya yakin Ramos tidak berniat melakukan hal buruk sehingga menciderai Salah. Saya bukan Fans Real Madrid tapi marilah bijak dalam bersosial media untuk berbuat baik dan berkata-kata yang baik. Kepribadian kita dicerminkan dari apa yang kita tulis dan kita katakan.

    Di babak kedua, selepas tidak adanya Salah permainan Liverpool mulai goyah. Kiper Liverpool, Loris Karius, membuat kesalahan fatal dengan melempar bola ke arah kaki Benzema, alhasil 1 angka tercipta untuk Real Madrid.

  • Harapan untuk mengimbangi permainan Real Madrid yang semakin ganas sempat tumbuh dengan satu gol balasan yang dicetak oleh S. Mane pada menit 54. Tapi, gol itu tidak kuat menahan garangnya serangan demi serangan yang dilakukan oleh Real Madrid. Gareth Bale, berhasil mencetak gol spektakular pada menit 63 dengan saltonya. Dan gol kedua pada menit 82 dengan tendangan jarak jauhnya yang gagal ditangkap oleh Loris. Pertandingan berakhir 3-1 untuk kemenangan Real Madrid.

  • Saya tak akan membahas mengenai tropi atau rekor pencapaian dari Real Madrid setelah pertandingan semalam. Tapi saya ingin menanggapi mengenai dua kali kesalahan fatal yang dilakukan oleh Loris Karius. Ada banyak media yang menjadikan blunder Loris sebagai headline utama, ada pula sebagian kecil fans Liverpool yang datang jauh-jauh ke Ukraina mengungkapkan kekecewaannya dengan menghujat, ada pula sebagian dari kita yang menonton pertandingan itu dengan mengatakan "Ah, kipernya goblok, gak becus. Gara-gara dia Liverpool jadi kalah!" ya, banyak dari kita terjebak dalam keburukan diri dengan menghinakan orang lain dan lupa untuk mengapresiasi.

    Terlepas dari blunder fatal Loris, sebenarnya masih banyak pemain Liverpool yang bermain cukup baik. Masih ada 10 pemain lain yang bermain hingga titik darah terakhir. Masih ada pelatih dan pemain cadangan yang begitu sabar menunggu gol balasan. Masih banyak kebaikan lain yang semestinya kita apresiasi, bukan fokus pada satu orang yang melakukan kesalahan.

    Ketika ada kertas putih dan satu titik hitam di salah satu bagiannya kita seringkali lebih fokus pada titik hitam itu daripada melihat bagian putih yang lebih banyak. Ketika ada tembok yang mana terdapat satu batu bata miring, kita akan lebih fokus pada batu bata miring itu dan seringkali menghujat tukang bangunannya. Kita lupa, diantara satu batu bata yang miring itu ada puluhan batu bata yang berdiri kokoh karena peran tukang bangunan tadi yang harusnya kita apresiasi.

  • Loris, hanya manusia biasa dan saya yakin semua orang pernah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya. Saya dan anda yang membaca ini juga tentu pernah mengalami masa-masa sulit itu. Sebagai orang yang pernah mengalaminya, maka ada di bagian manakah kita saat ini? Menjadi orang yang mendukung orang-orang yang pernah melakukan kesalahan untuk kembali bangkit atau justru menghina, mencaci, dan menghujat yang membuat orang itu semakin jatuh sakit? Pilihannya ada di tangan kita.

    Eki Lesmana

*ditulis seusai final liga champion 2018

Kawan Menulislah

Instagram itu bukan cuma sekedar foto atau video saja. Instagram adalah blog yang lebih simpel dan sejatinya blog digunakan untuk menulis, maka tulislah sesuatu di kolom captionmu, Kawan. Tulislah apapun, tidak perlu menjadi penulis untuk bisa menulis. Kita hanya cukup lulus SD saja, tapi aku yakin tulisanmu jauh lebih baik dari sekadar tulisan anak SD, aku sangat yakin itu. Maka mulailah menulis, aku ingin membaca tulisanmu.

Instagram itu terdiri dari 2200 karakter atau jika dikonversi kurang lebih 1 lembar dan terdiri dari 220 kata lebih. Teramat sayang jika foto atau videomu yang bagus itu tidak disertai dengan tulisan yang agak panjang. Tidak perlu bagus, karena sejatinya tidak ada tulisan yang bagus. Biarlah kami para pembaca membaca tulisanmu dari waktu ke waktu dan menikmati proses pembelajaran menulismu, Kawan. Tidak ada yang instan, maka perbanyaklah membaca dan teruslah menulis. Jangan membiarkan kolom captionmu sepi apalagi kosong tulisan, itu mubazir.

Takut jelek, takut follower berkurang, atau takut tulisan tidak sesuai dengan foto? Tidak perlu takut, aku yakin mereka memfollow akunmu karena suka karyamu dan mereka sedang menunggu pelajaran baru apa yang mereka bisa ambil. Maka menulislah, agar mereka bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan, terlebih tentang cerita dibalik foto yang kamu upload.

Ingin di instagram tidak saling mencaci dan membenci mereka yang tidak sepaham denganmu, menulislah. Berikan kisah inspiratif hasil pemikiran kritismu agar mereka merasa tidak digurui. Konon katanya pendidikan terbaik adalah lewat cerita, maka menulislah aku ingin mendapat inspirasi dari cerita yang kamu bagikan.

Selamat memulai ber-instagram dengan menulis lebih panjang, bercerita, membagikan pengalaman, menginspirasi, dan mengubah paradigma bersosial media menjadi lebih baik.

Eki Lesmana

P.S : tulisan ini hanya sebagai pengingat pribadi yang akhir-akhir ini jarang menulis. :)

Senin, 14 Mei 2018

"Mengenali Jodoh"


Bulan Mei, 2016
Saya membaca dengan saksama, penuh perenungan dan sesekali meneteskan air mata. Tulisan di blog itu sukses membuat saya tertampar sebagai lelaki karena saat itu saya berada pada posisi yang cukup galau. Saya baru saja patah hati dan kebetulan menemukan bacaan yang tanpa sengaja membuat saya kembali menatap ke depan. Blog itu ditulis oleh Mbak Ghea, saya tidak tahu siapa dia tapi kisah yang ditulisnya mengharukan sebab ditulis berdasarkan pengalaman pribadi yang teramat inspiratif.

Konon, Mbak Ghea waktu itu berumur 20 tahun dan sedang dekat dengan seorang lelaki kurang lebih 5 tahun lamanya. Dekat tapi tidak pacaran, dekat tapi tidak bersentuhan. Begitu kiranya saya memahami prinsip Mbak Ghea dalam menjalin hubungan. Dari kisahnya mereka agaknya cocok satu sama lain, sering bertukar pikiran, memiliki kesamaan dalam beberapa hal, dan tentu memiliki kedekatan yang spesial jika dibandingkan dengan lelaki yang lain.

Namun badai datang tak pernah dikira, hujan turun tak sekalipun diminta, Mbak Ghea tiba-tiba dilamar oleh orang lain yang sama sekali menurut perhitungannya tak pernah dikenalnya, Mas Hanif namanya. Lelaki itu tiba-tiba menyampaikan maksud untuk mendatangi orang tuanya. Mbak Ghea bingung, jelas, itu bukan perkara mudah apalagi ketika dihadapkan dengan dua pilihan perihal jodoh.
Satu bulan setengah berlalu semenjak maksud baik Mas Hanif, akhirnya Mbak Ghea memberikan lampu hijau setelah melalui proses panjang, doa-doa juga istikharah yang berkali-kali. Saya tidak akan menceritakan ulang prosesnya karena saya justru takut akan mengurangi kisah inspiratif di dalamnya, maka lebih baik dibaca langsung dari blog penulisnya di link berikut : https://gheasafferina.blogspot.co.id/2016/04/newchapter-01-begining-of-everythings.html

Semenjak membaca tulisan itu saya menjadi sadar satu hal bahwa yang bertahan berlama-lama bersama kita belum tentu menjadi seseorang yang bertahan menjadi jodoh kita. Cinta yang indah, seperti kata Mbak Ghea, adalah cinta yang dibangun bersama sesudah akad bukan sebaliknya. Kebanyakan kita terlalu sering mencintai orang lain tapi tidak berani mengutarakan maksud baik kepada orang tunya, saya sendiri sadar itu, dan benar perempuan sejatinya butuh kepastian bukan cinta mati-matian saja. Kita barangkali hanya perlu menjemput takdir dengan ikhtiar-ikhtiar bukan menunggu apalagi mendahului dengan menjadikan orang lain kekasih sebelum menikah. Kita hanya cukup percaya dan berusaha, bahwa diantara seperempat milyar manusia di Indonesia salah satunya pasti jodoh kita.

14 Mei 2018
Beberapa bulan lalu saya mengajukan diri ke Mas Hanif agar bisa magang di rumahnya untuk belajar fotografi dan videografi pernikahan. Hitung-hitung sebagai pengalaman dan mencari kesibukan sebelum datang kesibukan lain jelang sidang kuliah saya pertengahan tahun ini, juga tentu agar bisa kenal secara langsung bukan hanya tahu cerita inspiratifnya melalui tulisan saja. Saya pun diterima dengan baik oleh Mas Hanif dan Mbak Ghea. Waktu itu Mbak Ghea masih hamil 7 bulan namun masih tetap sibuk bekerja membantu Mas Hanif di beberapa acara pernikahan. Kalau ada sosok inspiratif yang bisa mengilhami banyak perempuan selain Kartini mungkin Mbak Ghea adalah perempuan itu. Semangat dan kegigihannya sungguh patut diteladani.

Pagi ini saya mengunjungi rumah Mas hanif dan Mbak Ghea untuk bersilaturahmi sekaligus menjenguk Kafa, bayi laki-laki mungilnya. Tidak terasa dua tahun berlalu semenjak pertama kali saya membaca kisah jelang pernikahan mereka di blog Mbak Ghea. Rasanya mustahil untuk kenal mereka tapi tidak disangka kini menjadi akrab seperti memang sudah kenal lama saja. Karena sosok mereka berdua selain lucu, memang Humble dan mudah sekali akrab dengan orang lain.

Foto bersama Rizal, Kafa, dan Mas Hanif

“Assalamualaikum” tiga kali saya dan Rizal, kawan saya, mengetuk pintu rumahnya dan kemudian dipersilakan masuk oleh Mas Hanif ke ruang tamu di lantai satu. Pagi ini rambutnya tampak berantakan namun sambutan dan keramahannya tetap saja selalu rapi, sebuah ciri khas yang selalu ditunjukkan olehnya. “Masih sibuk edit foto di atas” katanya saat saya tanya sedang sibuk melakukan apa kok rambutnya acak-acakan. Sejurus kemudian Mas Hanif naik ke atas dan turun lagi menggendong Kafa, anaknya. Aih, lucu sekali, rambutnya gundul dan pipinya mumpluk menggemaskan. Bayi itu murah senyum dan tidak mudah menangis jika dibandingkan dengan bayi lain seumurannya.

Foto bersama Mbak Ghea, Mas Hanif, Kafa, dan Rizal

Tidak lama kemudian, Mbak Ghea turun membuatkan minuman lalu duduk di samping Mas Hanif, sementara Kafa bergantian dipangkuan saya dan Rizal. Kami mengobrol ke sana sini sebelum pada akhirnya memfokuskan obrolan mengenai jodoh dan pernikahan. Untuk pertama kalinya saya mendengar langsung kisah yang pernah saya baca dua tahun lalu, kisah yang seringkali saya share kepada teman-teman saya saat mereka galau, kisah haru yang pernah membuat saya terinspirasi, karena sejak membaca kisah itu sedapat mungkin saya tidak lagi memegang perempuan yang bukan mahram, semenjak merenungi kisah itu saya juga sebisa mungkin tidak lagi berboncengan dengan perempuan lain selain yang memang dihalalkan untuk saya. Kisah itu sedikit banyak mengubah hidup dan prinsip saya perihal perempuan dan percintaan. Kisah itu sungguh berkesan bagi saya dan beruntungnya bisa mengenal mereka berdua.

“Sebenarnya jodoh itu seperti apa sih Mas Mbak? Apakah ketika kita berada di dekatnya merasa aman, nyaman, tenang apakah itu jodoh kita?” Saya memulai obrolan serius itu setelah sebelumnya membicarakan banyak hal mengenai bayi dan proses persalinannya yang bagi kami (saya dan Rizal) itu masih terlalu jauh dan visioner, apalagi mengingat kami masih hendak lulus kuliah. Obrolan sebelumnya memang penting tapi ada yang jauh lebih penting dari itu, jodoh. Membicarakan tentang jodoh sejatinya adalah membicarakan pilihan-pilihan mengenai sosok ibu atau bapak seperti apa yang akan kita hadirkan di masa depan nanti untuk anak kita dan jelas itu teramat penting. Sekali salah pilih orang, bisa berantakan hidup satu keluarga. Barangkali benar kata Kartini, ibu atau bapak yang baik akan melahirkan anak yang baik pula.

Mas Hanif membenarkan tempat duduknya dan mulai serius. “Belum tentu begitu, jodoh itu sebenarnya adalah hasil dari usaha-usaha kita selama ini, kalau kita memang serius mencari yang baik dan berbuat baik InsyaAllah juga akan mendapat yang baik pula.”

Mas Hanif kemudian menceritakan kisah yang mungkin belum ditulis Mbak Ghea di blognya. Sebelum melamar Mbak Ghea, katanya, dia sudah mengalami penolakan lamaran pernikahan selama tujuh kali. Mas Hanif memulai lamaran pertamanya sejak masih kuliah semester empat. Cukup mengejutkan memang, apalagi bagi saya yang sudah semester akhir dan belum melamar siapapun. Ah itu soal lain. Usaha-usaha dan penolakan itu lah yang pada akhirnya mempertemukan Mas Hanif dan Mbak Ghea dalam penerimaan yang baik oleh semesta.

Sesekali Mbak Ghea juga menyela “Lha yo iki sopo seh kenal yo enggak kok moro-moro ngelamar aku?” (“Lha iya ini siapa sih, kenal juga tidak kok tiba-tiba melamar aku”), dan jelas kalimat itu disambut tawa kami berempat. Tapi justru dari ketidak kenalan itu Mbak Ghea jadi penasaran dengan Mas Hanif. Satu poin yang saya ambil dari Mas Hanif, menjadi misterius memang perlu.

Saya yang cukup penasaran melanjutkan pertanyaan berikutnya “Lalu bagaimana mengenai istikharah yang seharusnya dilakukan untuk memastikan bahwa seseorang itu benar-benar jodoh kita?” pertanyaan ini cukup penting karena setelah berusaha sedemikian rupa maka langkah selanjutnya adalah memastikan dan memasrahkan pilihan kita kepada Allah semata.

“Istikharah bermacam-macam bentuknya, kalau saya dan Mas Hanif dulu melalui istikharah Al-Quran, yaitu dengan cara kita sholat dulu lalu berdoa kepada Allah kemudian membuka Al-Quran secara random, lalu buka lagi 7 halaman setelah bukaan pertama itu, kemudian kita cek ayat yang ke 7 dari atas. Kebetulan waktu itu saya dapat surat an-nur ayat 32 yang berisi tentang perintah pernikahan dan ajaibnya ayat itu sama dengan yang ditunjukkan Mas Hanif ketika istikharah. Namun ketika saya melakukan istikharah untuk seseorang yang dekat dengan saya selama 5 tahun jawabannya dari Al-Quran adalah mengenai larangan-larangan berbuat sesuatu” Kali ini Mbak Ghea yang menerangkan kepada kami sebelum Mas Hanif yang menambahkan. Saya dan Rizal serius menyimak pembahasan ini.

“Jawaban istikharah tidak selalu melalui mimpi atau seperti kata Ghea tadi, jawaban istikharah bisa juga melalui tanda-tanda alam, misal ketika ikut pengajian si ustadz membahas masalah pernikahan dan perintah agar segera menikah atau bisa juga saat membeli buku tiba-tiba kita menemukan kalimat yang relevan dengan seseorang yang dekat dengan kita, banyak sekali kuasa Allah. Tugas kita hanya berusaha mencari dan memahaminya” demikian Mas Hanif menambahkan, cukup lengkap dan detail.

Jawaban itu sekaligus mengakhiri kunjungan kami ke sana. Banyak ilmu yang didapat dan kami semakin paham tentang hakikat jodoh dan pernikahan bahwa sejatinya jodoh bukanlah puncak gunung yang akan menunduk pada kaki manusia, tapi kekuatan, kegigihan, serta usaha keras agar kaki kita bisa sampai di puncaknya. Seperti kata Jon dalam film serendipity, bahwa untuk menjalani hidup yang selaras dengan alam semesta, kita hendaknya memiliki keyakinan yang kuat akan apa yang disebut nenek moyang manusia sebagai ‘fatum’ atau yang dewasa ini kita sebut ‘takdir’. Jodoh memang ditangan Tuhan, tapi ikhtiar kita lah yang akan menentukan sampai tidaknya jodoh itu di tangan kita.

Eki Lesmana

Minggu, 06 Mei 2018

"Maret"

Mari merayakan bulan ganjil ini dengan pesta asing yang kerapkali kita abaikan. Senja keemasan, merdu hujan, atau barangkali suara ciuman yang berulangkali gagal ia tirukan. Sederhana saja, tak seperti maret tahun lalu, kali ini kita tak perlu saling memunggungi diam dengan bius pertengkaran. Mengunci kepala meributkan perihal kecil siapa yang lebih dulu melubangi dada. Cukup sudah. Kita akan tetap diam di tempat. Sebab saling injak tak akan pernah membuat kita beranjak.

Kau hanya perlu datang lagi kesini. Memberi sedupa wangi yang semerbak seperti melati di suatu pagi. Seekor kupu-kupu terjebak di atasnya, seperti ingin merebahkan lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Hinggap lalu terjatuh. Dikubur dalam pemakaman paling megah, bunga-bunga kecewa, atau nisan bernama bosan yang sengaja kurahasiakan. Kau dan aku tentu paham, tidak semua yang indah perlu untuk diungkapkan. Ada yang harus tetap disimpan agar ingatan bisa mengisi ruang kosong di dalamnya.

Kita lupa satu hal; terlalu menggebu menidurkan masa lalu hanya akan membuat kita semakin pandai melukai. Bersikeras melibatkan kata benar dalam mulut puisi. Kalimat berserakan seperti daun-daun basah yang lupa disapu di sore hari. Dibakar senja, menguapkan segala yang dikenang airmata. Meski dibalik sembunyi kau juga tak akan pernah percaya, bahwa kau adalah satu-satunya yang kucintai, berapapun banyak perempuan di dunia ini.

Entah hari ini atau bahkan bulan-bulan ke depan nanti. Kita akan berusaha baik-baik saja dibalik wajah canda, derai tawa, atau apapun sejenisnya. Mengemas berbagai luka dalam bahasa yang tak dipahami dada. Sunyi dan sepi sebab kita tak menyalakan kembang api. Perayaan ini akan tetap sederhana, seperti simpul tali sepatu yang memilih lepas dari ikatannya. Dan pada akhirnya aku percaya, dari segala jenis bulan di kalender usangku, maret akan membawa hal-hal baik, perihal yang tak terduga, juga berbagai bahagia, entah bagaimanapun bentuknya.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 1 Maret 2018

"ORASI KEBANGSAAN AHY"


Sumber foto : google


LUAR BIASA! Dua kata yang bisa saya tuliskan setelah melihat, mendengar, dan mengamati orasi kebangsaan AHY. 43 menit TANPA TEKS berlalu tanpa terasa. Saya paham itu bukanlah hal yang mudah, apalagi harus berorasi dihadapan ribuan kader partai dan jutaan masyarakat Indonesia tentang aspek kebangsaan yang sangat kompleks jumlahnya disertai pikiran-pikiran tajam yang komprehensif. Ada kritik, ada solusi, keduanya disampaikan secara matang.

“yang sudah baik dilanjutkan, yang belum baik diperbaiki.” Pungkasnya memperjelas tagline yang digunakan partai demokrat setelah memulai beberapa pencapaian masa jabatan presiden dari satu periode ke periode yang lain. Wajahnya nampak santun dan sumringah. Gestur tubuhnya jelas bahwa ada keniscayaan terhadap apa yang telah disampaikan.

Orasi kembali dilanjutkan. Dalam kesempatan itu AHY menyebutkan lima sasaran yang akan dicapai oleh partainya jika diberi mandat oleh rakyat lima tahun ke depan. Ke lima sasaran itu akan terealisasi dengan menggunakan sembilan strategi. Satu persatu ia jelaskan dengan rinci tanpa hambatan sedikitpun. Sesekali AHY berhenti ketika sorak sorai dan tepuk tangan hadirin menggemuruh menyebutkan namanya. Saya sedang membayangkan berada disana dan mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama melihat seorang pemuda berusia 39 tahun sedang berdiri diatas panggung dengan gagasan-gagasan cemerlang yang mungkin tidak banyak dimiliki pemuda seusianya. AHY adalah potret nyata pemuda masa depan harapan bangsa.

Saya juga mungkin akan kembali bersorak lebih kencang ketika AHY menjelaskan langkah yang akan ia ambil ke depan. ”Tuhan, Allah Swt memang telah menakdirkan saya untuk bertransformasi mengubah seragam hijau menjadi biru, namun itu semua tidak berarti mengubah semangat dan prinsip hidup saya untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara.” Kalimat itu kemudian dibanjiri tepuk tangan dan sorak sorai yang lebih kencang. Saya mencoba memahami kalimat itu. Pasalnya memang benar AHY memutuskan pensiun dini dari TNI hanya berpangkat mayor saja. Hal ini tentu berbeda dari Pak SBY yang memang sudah mencapai pangkat jenderal. Sebuah keputusan yang mengagumkan.

Tak lama kemudian ia akhiri orasinya yang disambut meriah oleh seisi ruangan. Tepuk tangan bergemuruh. “AHY! AHY! AHY!” dikumandangkan tanpa henti. Senyum tipis di wajahnya menunjukkan keteduhan jiwa sekaligus kebanggaan akan orasi yang baru saja ia sampaikan. Tangannya melambai ke kanan dan ke kiri seakan berbicara dengan apresiasi yang tinggi kepada setiap hadirin yang datang. 

Tulisan ini bukan sebagai bentuk saya mendukung AHY di pemilu nanti. Tulisan ini hanya sebagai bentuk apresiasi saya seorang generasi milenial yang konon katanya tahun 2019 nanti jumlah pemilihnya mencapai 100 juta orang. Tulisan ini mungkin akan berubah seiring keputusan yang akan diambil partai demokrat beberapa bulan ke depan. Tulisan ini mungkin juga akan menjadi perasaan kecewa yang terpendam oleh waktu dan bukan lagi apresiasi yang membanggakan apabila demokrat memilih untuk berkoalisi dengan partai-partai yang kebijakannya kerapkali mengerdilkan rakyat kecil.

Semua orang sependapat keberhasilan dua periode Pak SBY di pemilihan presiden yang telah lalu. Hal yang tak bisa dibantah siapapun. Partai demokrat tentu tidak akan gegabah menentukan pilihannya, namun bukan berarti harus bersikap netral seperti pemilu 2014. Saya rasa itu bukanlah sebuah pilihan bijak, apalagi faktanya ada kader-kader muda yang mumpuni seperti AHY, juga tak lupa Tuan Guru Bajang (TGB) yang sejak usia 36 tahun telah menjadi Gubernur NTB hingga saat ini (2 periode). Demokrat harus berani menentukan sikap. Tentu jika demokrat berani untuk memilih poros ketiga bersama PAN dan PKB maka dipastikan pemilu 2019 akan berjalan semakin panas dan menarik. Artinya pemilu tidak hanya akan diikuti oleh dua paslon saja.

Tulisan ini saya akhiri juga dengan sebuah apresiasi terhadap Pak SBY. Sedari tadi saya terlalu membesar-besarkan AHY. Saya lupa dibalik keberhasilan juga penampilannya di depan publik, ada sosok yang telah mati-matian dan merelakan segenap waktunya untuk mendidik kematangan berpikir, ketenangan jiwa, juga keberanian berpendapat dalam dirinya. Saya yakin Pak SBY sangat bangga dengan transformasi AHY saat ini, karena tidak bisa dibantah lagi jika dilihat dari cara berbicara, gestur tubuh, dan pola berpikirnya, AHY merupakan buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dan benarlah kalimat itu. AHY adalah kader biologis dari seorang bernama SBY.

Eki Lesmana

*Ditulis pada 14 Maret 2018

April

Tak ada hujan bulan april di kotaku
hanya ada malam gelap juga bulan kesiangan
Maka aku ingin mengajakmu meramaikan lengang di udara
Menjadikanmu majas-majas basah beraroma hujan
Puas membasahi halaman daun rinduku
Seperti debar jantungku yang meletup-letup menyebut namamu

Kita tak butuh perayaan untuk bulan-bulan tertentu, katamu
Sebab memelukmu sama saja dengan menebak suhu musim dingin
Gigil yang selalu mampu dirayakan api dadaku
Maka apakah kita masih perlu hujan? 
Sementara rusukmu adalah panggung bagi dadaku mementaskan kekagumannya.

Tidak perlu takut kehilangan megahnya bulan april
Kuajak gigilmu kemanapun tubuhku datang memanggil
Sebab aku percaya april selalu menyediakan hangat terbaiknya
Dan memeluk juga memilikimu adalah salah satunya

Kita akan tiba di satu sore yang tak melibatkan kecewa,
Malam tanpa purnama, atau apa saja yang tak memerlukan cahaya
Saat itu aku ingin mengajakmu menggiring doa-doa baik
Maka tetaplah disini, setidaknya untuk 30 hari ke depan
Atau selamanya saja?
agar kau tetap percaya bahwa namamu adalah satu-satunya alasan yang selalu kusemogakan.

Eki Lesmana

PS : puisi ini ditulis tanggal 1 April 2018