Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Minggu, 24 Juni 2018

Arab, Jawa, Cina

  • Foto : kiri Hasan, tengah saya, kanan Reza

    Ada satu kejadian menarik di tahun 2009 waktu saya masih duduk di bangku SMP. Seringkali saya hanya memilih teman berdasarkan kesamaan suku, agama, ras, dan tak jarang mengucilkan mereka yang tampak berbeda dari yang lain. Ya, saya tahu ini buruk dan ada baiknya tidak perlu dicontoh.

    Waktu itu saya hendak berkelahi dengan seorang arab dari kelas lain karena saya pernah mengejeknya "Hey, kepala lele" demikian kata saya ketika dia lewat di depan kelas saya. Wajahnya tampak marah lalu menghampiri saya dan tentu teman-teman kelas mencoba membela saya. Kami menang kuantitas dan tentu dimana pun itu minoritas harus mengalah, dia pun akhirnya pergi. Kejadian itu terus berulang beberapa kali sampai akhirnya kami sendiri yang jenuh.

    Pernah juga ketika SMP saya berprasangka bahwa memiliki teman bermata sipit (Cina) itu tidak asik, sok pintar, sok kaya, atau apapun itu. Demikian asumsi saya waktu itu. Alhasil saya tak pernah akrab dengan orang-orang yang memiliki keturunan Cina.

    9 tahun berlalu, saya sadar ternyata asumsi-asumsi yang saya bangun selama ini ternyata salah. Kini saya malah berkawan baik dengan Hasan, keturunan Arab yang dulu saya sebut kepala lele, dan Reza, yang keturunan Cina. Ternyata justru karena adanya perbedaan itu saya bisa banyak belajar dari mereka. Hasan yang seringkali melucu khas arab-arab 'rapatigena' atau Reza yang lebih sering diam dan baru mulai bercerita sesuatu ketika saya pancing dengan pertanyaan-pertanyaan. Keduanya memiliki gaya masing-masing dan justru karena gaya yang berbeda itu kami bisa akrab satu sama lain.

    Dulu tak jarang saya menilai seseorang hanya dari kulit luarnya saja, bahkan teramat sering. Ketika tumbuh dewasa saya semakin sadar bahwa sebenarnya untuk bisa bersatu dengan orang lain yang diperlukan adalah bisa menghargai perbedaan. Kuncinya tetap sama bahkan untuk komunitas yang jauh lebih besar dari itu. Antar agama, ras, suku bisa rukun juga karena sikap saling menghormati. Indonesia bisa tentram juga karena Bhinneka Tunggal Ika-nya. Tak jarang komunitas yang lebih besar itu cukup diwakili dengan perbuatan kita sehari-hari. Karena kita selalu menilai sampel dari segala sesuatu yang lebih besar. Pelangi indah karena adanya perbedaan warna, bukankah demikian?

Eki Lesmana

*ditulis 29 Mei 2018

0 komentar:

Posting Komentar