Minggu, 06 Mei 2018
"Bertukar Pikiran"
Kemarin pagi selepas sholat dhuha di musholla seorang lelaki tiba-tiba menghampiri saya.
"Dari mana Mas?"
"Malang pak"
"Kota apel itu ya?"
"enggeh Pak, benar"
Kami diam sejenak, saya tatap wajahnya, tampak ada sesuatu yang sepertinya ingin dibagi kepada orang lain.
"Anak saya sama usianya seperti mas. Anu Mas, dia itu ingin kuliah" beliau memulai kisahnya.
"Bagus dong Pak" kata saya.
"Iya bagus sih Mas. Dia sudah kerja di salah satu perusahaan di daerah sini dan memang dia bisa membiayai kuliahnya sendiri."
"Tambah bagus lagi itu Pak, semangat pemuda seperti anak bapak yang haus akan ilmu perlu ditiru." Saya mengapresiasi.
Sebelum pada akhirnya si Bapak menjelaskan panjang lebar bahwa ada ketakutan yang berkecamuk dalam dirinya kalau anaknya kuliah tapi tidak serius dengan apa yang akan dijalani. Beliau takut kalau ternyata anaknya kuliah hanya karena gengsi atau ikut-ikutan saja. Saya sadar betul dan memahami ketakutan itu. Sementara di sisi lain beliau takut kalau saja anaknya lulus ijazahnya tidak akan berguna untuk jenjang karier dalam pekerjaannya. Beliau tahu bahwa kalau ingin anaknya naik kariernya harus keluar dulu dari perusahaan tersebut dan masuk lagi dengan banyak tahap tes dengan ijazah terakhir yang di dapat. Saya paham itu tidak mudah dan ketakutan itu wajar adanya.
Saya tidak bisa menyarankan banyak hal, apalagi yang dikatakan beliau benar dan tidak bisa saya bantah.
"Begini, Pak. Saya tahu ketakutan yang bapak alami juga dialami banyak orang tua di luar sana." demikian saya memulai lagi percakapan itu.
"Saya juga paham anak Bapak tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya untuk turut membiayai kuliahnya. Barangkali begitulah alasan dia bekerja dulu dan ingin kuliah ketika waktunya tepat. Dan bagi dia, mungkin saja ini adalah saat yang tepat. Tidak banyak anak yang bisa seperti anak bapak yang ingin melanjutkan kuliah apalagi sudah bekerja di salah satu perusahaan besar. Ada rasa malas karena sebagian berpikir untuk apa kuliah toh sudah dapat uang banyak?" beliau menatap saya serius.
"Mengenai karier anak Bapak, tentu yang bapak ceritakan itu benar dan saya tidak bisa memungkiri itu. Tapi kita harus percaya Pak, tidak ada ilmu yang kita tempuh dengan sungguh-sungguh akan berakhir percuma dan sia-sia. Boleh jadi saat ini belum bermanfaat untuk jenjang kariernya, tapi suatu saat nanti bisa saja membuat karir anak Bapak menjadi tinggi. Apa sulitnya buat Allah? Mudah sekali, toh Allah maha segala-galanya." tiba-tiba suara adzan dhuhur berkumandang seakan mengingatkan bahwa Allah memang maha besar dan maha segalanya. Ada ketenangan baru dalam wajah si Bapak.
Tak terasa sudah hampir satu jam kami bertukar pikiran. Sebenarnya saya yang lebih banyak mendapat ilmu baru dan beberapa pertanyaan dalam diri : Apakah nanti saya bisa memiliki kekhawatiran yang sama untuk anak-anak saya seperti yang Bapak itu rasakan? Siang ini beliau telah memberikan contoh yang baik juga pelajaran yang tak ternilai harganya. Di sisi lain saya tidak bermaksud menggurui atau menasihati beliau. Saya hanya ingin berpendapat sesuai yang saya ketahui meski bisa jadi apa yang saya sampaikan salah. :)
Selepas sholat saya melihat Bapak itu khusyuk dalam doa-doanya.
Eki Lesmana
*Ditulis pada 13 April 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar