*Ditulis pada 21 April 2018
Minggu, 06 Mei 2018
"Kartini"
Perempuan itu menangis setiap pagi. Wajahnya tampak sedih, marah, dan kecewa, semuanya berbalut menjadi satu. Alasannya sederhana, ia merasa gagal mendidik anaknya yang saat itu enggan untuk memasuki TK di usia 5 tahun. Hingga 2 tahun berlalu, bocah kecil itu juga tidak ada niat sedikitpun untuk pergi ke sekolah.
Suatu ketika perempuan itu datang menemui kepala sekolah di sebuah SD. Ia ingin anaknya diterima tanpa duduk di bangku TK, tentu tanpa tes juga, karena jelas bocah kecil itu tidak bisa membaca dan menulis. Karena kebaikan hatinya, akhirnya bocah kecil itu bisa bersekolah disana. Setiap pagi dengan tangis gemetar dan linangan air mata perempuan itu mengantar anaknya pergi ke sekolah. Pasalnya, bocah kecil itu tidak akan pergi ke sekolah jika tidak ditemani perempuan itu. Ia akan memilih tidur, pura-pura sakit atau alasan apa saja yang bisa membuatnya tetap berada di dalam kamar. Dan ini berlangsung lama, 4 tahun. Ya kamu tidak salah baca. Selama itu bocah kecil tersebut diantar oleh perempuan itu hingga duduk di bangku kelas 4 SD. Apakah ini memalukan baginya? Entahlah tidak ada yang pernah tahu perasaannya.
Perempuan itu adalah Ibu saya. Jika ada sosok yang bisa saya sepadankan, maka ibu adalah Kartini bagi saya, yang jika saja saat itu tidak bersikeras sekuat tenaga menyekolahkan saya, barangkali tulisan ini tak pernah kamu baca. Ibu saya memang tak pernah lulus SD, tapi melihat kekuatan dan ketabahannya untuk menyekolahkan anaknya melebihi batas terakhir pendidikannya adalah kemerdekaan baginya juga bagi kami, anak-anaknya. Ibu saya juga mungkin tak pernah hafal UUD 1945 alinea ke empat tentang cita-cita Indonesia 'mencerdaskan kehidupan bangsa' tapi melalui lakunya telah tercermin nilai-nilai itu. Ibu saya juga tak pernah mengenal apa itu instagram, facebook, ataupun whatsapp untuk media berkomunikasi karena beliau gaptek teknologi, tapi melalui doa-doanya saya bisa merasa selalu terhubung kapanpun dan dimanapun berada. Ibu saya juga tidak pernah membaca buku 'habis gelap terbitlah terang' tapi melihat semangatnya, saya bisa memetik nilai-nilai kehidupan dari buku itu.
Hingga suatu saat nanti kamu membaca tulisan ini, kapanpun itu, bagi saya, Ibu tetaplah Kartini yang semangatnya tak pernah terkikis oleh waktu. Selamat hari Kartini.
Eki Lesmana
*Ditulis pada 21 April 2018
*Ditulis pada 21 April 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar