Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Minggu, 06 Mei 2018

"Hakikat Mencintai"

Sumber foto : instagram @artcologi


Pagi masih belia, aku baru sampai di ruangan training center di PT. Lotte Cilegon, Banten, untuk melaksanakan kewajiban dari kampus. Tiba-tiba seorang perempuan memanggilku dari ruang sebelah. Nadya namanya. Aku berkenalan dengannya beberapa hari yang lalu. Wajahnya cantik, namun kepribadiannya cenderung ceplas ceplos. Barangkali hal itu yang menjadikan kami akrab satu sama lain.

Suara mesin berderu dan bersahutan terdengar di luar sana. Kami sedang duduk berhadapan satu sama lain di sebuah ruangan yang tak jauh dari mesin-mesin itu. "Aku ingin cerita Kik, entah kenapa aku ingin ceritanya sama kamu" katanya perlahan. Kutatap matanya dalam-dalam, tampak ada kesedihan yang ingin sekali dirayakan bersama seseorang dan pagi ini ia memilih merayakannya bersamaku. 

"Cowok aku tuh, akhir-akhir ini semakin protektif. Ya tahu sendirilah dulu aku kan suka main kesana-sini, temenku juga banyak cowok disana-sini apalagi kalau main ke gunung pasti dapat temen-temen baru yang asyik." dia memulai ceritanya. Aku hanya diam mengamati caranya bercerita dan memahami dengan hati-hati setiap apa yang keluar dari mulutnya. Aku paham perempuan itu sensitif dan mudah tersinggung. Semua lelaki juga tahu itu. 

"Masak aku gak boleh nyimpen nomor cowok sama sekali di hapeku, kamu aja kemarin nge-WA gak aku bales kan, aku takut dia marah sama aku." dia melanjutkan ceritanya. Di bagian ini aku penasaran dan ingin bertanya memastikan
"emang hapemu di bawa sama cowokmu?"

"Gak sih Kik, cuman dia kayak nyadap gitu, ada WA aku di PC nya dia." dia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam lalu melanjutkan kisahnya. 

"tapi sebaliknya, kalau dia mah gak mau dilarang, temennya juga banyak cewek, di hapenya juga pernah kutemuin chat sama cewek lain. Tapi chatnya yang dulu-dulu keburu dihapus. Gimana gak sakit hati coba. Aku dilarang-larang dianya sendiri minta bebas."

Tiba-tiba Nadya berhenti sejenak lalu melanjutkan ceritanya sambil kulihat ada sesuatu paling mahal yang perlahan keluar dari matanya.

"Apalagi kemarin dia bilang aku cuman minta bahagia aja, gak mau susah bareng dia. Padahal mah aku selalu ada buat dia, nanyain dia bagaimanapun keadaanku. Tapi dia sendiri gak pernah kayak gitu ke aku. Sakit tau." suaranya serak. Tangannya tampak menyeka air matanya perlahan. Kurasakan ada kesedihan mendalam yang terlalu lama ia pendam sendiri. Dan hari ini ia memilih menggali perasaan sakit itu untuk diketahui oleh orang lain. Aku menghargai itu.

Aku tiba-tiba teringat 6-7 tahun lalu ketika aku masih memiliki seorang perempuan. Tuhan seakan ingin menamparku dan kembali mengingatkan bahwa aku dulu juga sama seperti lelaki itu. Dulu aku terlalu protektif dan pencemburu keterlaluan. Dan aku baru sadar beberapa tahun belakangan kalau itu terlalu kekanak-kanakkan. Pagi ini Tuhan sedang menghidangkan sebuah sarapan dalam sebuah ruang kepala bernama kenangan. Orang yang mengalami boleh saja berbeda tetapi kisahnya kurang lebih persis sama.

Aku pelan-pelan menegakkan tempat duduk. Kulihat airmata Nadya perlahan kering dan raut wajahnya masih tampak sedih. Aku memulai menanggapi cerita Nadya dengan menceritakan kisahku dulu.

"Baiklah, sebenarnya semua tergantung persepsi masing-masing orang dan kali ini aku akan menanggapi ceritamu dari sudut pandang sebagai lelaki." Nadya tampak serius menyimak. 

"Aku dulu kurang lebih sama seperti cowokmu. 7 tahun lalu aku masih SMA dan masih awam tentang mencintai dan dicintai. Aku terlalu protektif saat itu dan kadang sakit hati sendiri saat cewekku melakukan hal-hal yang kularang. Tapi maaf sepertinya di usia kita yang saat ini sudah kepala dua, aku pikir itu sudah tidak penting lagi. Mencintai di usia ini berarti serius menjalin hubungan dua hati dan dua keluarga, bukan hanya cinta-cintaan saja seperti aku dulu."

"Aku paham kalau apa-apa yang dilarang cowokmu itu adalah sebagai bentuk menjaga agar kamu tidak berpindah ke lain hati. Aku juga paham kalau cowokmu mudah cemburu. Benar kata sebagian orang bahwa cemburu adalah sebagai salah satu bukti kalau kita memiliki rasa mencintai. Tetapi tidak di usia sekarang, Nad.  Kita bukan anak SMA lagi. Jauh dari pada itu kalian cuma pacaran bukan berada pada hubungan serius yang mengikat seperti pernikahan. Aku tidak menyalahkan cowokmu, juga tidak menyalahkan kamu. Mungkin cowokmu melakukan itu dengan alasan lain dan aku tidak tahu itu." Aku berhenti sejenak. Menahan napas lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Bahasan ini agak berat apalagi faktanya saat ini aku tidak punya pacar. Dan aku tahu itu soal lain lagi.

"Aku sebenarnya gak tahu kamu harus gimana, yang tahu semuanya adalah kamu dan cowokmu sendiri.  Kalianlah yang akan menentukan bagaimana hubungan kalian ke depan. Kamu yang paling paham lebih banyak baik atau buruknya hubungan kalian. Kalau yang kalian jalani saat ini lebih banyak baiknya silakan lanjutkan hubungan itu dengan lebih serius ke jenjang selanjutnya, jangan terlalu lama. Sebaliknya, kalau kamu tahu hubungan kalian lebih banyak buruknya silakan akhiri saja lebih cepat daripada kamu terlalu dalam mencintai namun pada akhirnya tidak sampai pada tahap dinikahi." aku menjawab demikian ketika Nadya bertanya bagaimana dan apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya.

Aku melanjutkan ceritaku dengan meyakinkan Nadya mengenai takdir Tuhan.

"Percaya deh Nad sama aku, kalau Tuhan itu terlibat dalam setiap tindakan dan apapun yang kita lakukan. Kalau kamu pernah menonton film 'Serendipity' kamu akan tahu bagaimana Tuhan berperan. Jonathan dan Sara yang tidak sengaja bertemu karena ingin membeli sebuah kaos kaki yang stoknya tinggal satu kemudian berakhir menjadi sebuah makan malam di sebuah rumah makan bernama 'Serendipity'. Jon meminta nomor Sara untuk meyakinkan bahwa mereka berjodoh, namun Sara menolak hal itu dan menuliskan nomor hapenya pada sebuah buku yang akan ia jual keesokan harinya dan menyuruh Jon untuk mencari dan membeli buku tersebut pada seluruh Kota. Sementara Jon menulis nomornya pada sebuah uang kertas yang dibelanjakan sara kepada sebuah toko. Sara yakin kalau mereka berjodoh maka pada waktunya nomor tersebut akan datang dengan cara-cara tak terduga. Beberapa tahun berlalu namun Jon dan Sara tak pernah menemukannya."

"Pada akhir film itu, ketika Jon hendak menikahi seorang perempuan tiba-tiba ia membatalkannya karena semalam sebelum pernikahan itu, calon istri Jon memberikan hadiah sebuah buku yang mana di dalamnya ternyata terdapat nomor Sara. Sementara Sara mendapatkan uang yang bertuliskan nomor Jon saat berada di dalam pesawat. Dan pada akhirnya mereka bertemu kembali dengan cara yang tak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Aku tak ingin menjelaskan film itu terlalu detail, tapi lihatlah bagaimana Takdir menyatukan mereka. Dan kita harus percaya itu, bahwa Tuhan sudah mengatur segalanya."

Nadya tampak takjub mendengar kisah itu sebelum pada akhirnya ia bertanya satu hal penting lainnya. "Bagaimana kalau aku gak bisa ngelupain dia, Kik?"

"Bisa, Nad. Aku yakin kamu bisa. Semuanya kembali kepada hati kamu sendiri. Kita harus ingat bahwa semua yang kita miliki juga akan hilang dan pergi. Kita tak sepantasnya merasa memiliki sesuatu karena pada hakikatnya semua akan kembali kepada sang pencipta." kata-kata itu sepertinya mulai menenangkan kegelisahan dalam hati Nadya. 

"Aku ingat sebuah kisah cinta ulama tersohor di negeri ini, Buya Hamka namanya. Beliau adalah imam besar di zaman kemerdekaan Indonesia. Beliau juga yang menjadi imam dikebumikannya presiden pertama Indonesia." demikian aku memulai kisah itu.

"Buya Hamka sangat mencintai istrinya bahkan sampai berpulangnya sang istri kepada yang maha kuasa. Kadang kenangan bersama istri tiba-tiba datang menghampiri beberapa tahun setelah meninggalnya sang istri. Irfan Hamka, anak dari Buya Hamka kadang mengetahui itu dan kegiatan sang ayah ketika sedang merindukan istrinya. Dalam buku berjudul 'Ayah' yang ditulis Irfan, Buya Hamka sering melakukan sholat taubat ketika kenangan bersama istrinya muncul tiba-tiba, karena Buya takut berdosa apabila terlalu mencintai istrinya sampai-sampai melupakan Allah yang maha menghidupkan dan mematikan hambanya. Demikian dengan kita, kita harusnya mencintai seseorang sewajarnya saja karena kecintaan kepada manusia bisa hilang sewaktu-waktu tapi cinta kepada Allah adalah keabadian yang semestinya kita jaga." Aku mengakhiri tanggapanku atas cerita dan pertanyaan Nadya. Kulihat wajahnya tampak lebih tenang dan kesedihan itu perlahan-lahan hilang dengan selengkung senyuman yang ia berikan. 

Eki Lesmana

PS : Cerita ini ditulis di dalam bus pada 9 April 2018 sewaktu perjalanan pulang dari PT Lotte menuju ke rumah kontrakan di PCI yang berjarak 30 menit. Cerita ini bisa juga tidak sama persis karena keterbatasan ingatan saya tetapi kurang lebih sama. :)

0 komentar:

Posting Komentar