Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Minggu, 06 Mei 2018

"Menyalakan Lilin"

sumber gambar : google

Suasana yang tadinya sudah tegang tiba-tiba menjadi semakin tegang ketika saya mulai mengangkat tangan agar diizinkan untuk berpendapat. Di luar kelas tepat suara azan berhenti. Saya memulai pembicaraan. "Maaf Bu, bukan maksud saya untuk menilai siapa yang benar ataupun salah, bukan maksud saya pula untuk menengahi, karena saya tidak punya keahlian untuk kedua hal itu, saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya secara pribadi. Dan pendapat saya bisa saja salah bisa saja benar tergantung sudut pandang kita." teman-teman nampak mulai serius menatap saya di kelas.

Pembicaraan itu saya mulai karena sebelumnya seorang pengajar, Bu Mus namanya, menyampaikan sebuah permasalahan di kampus. Permasalahan ini terkait dengan anak bimbingnya mengenai Tugas Akhir. Konon, Ucok dan Umang telah membuat pembimbingnya teramat geram dan memutuskan untuk undur diri sebagai pembimbing mereka. Masalahnya cukup serius, mereka memalsu tanda tangan Bu Mus dalam 4 form penting termasuk tanda tangan untuk revisi proposal Tugas Akhir. Dan tentu mereka akan mendapat hukuman tegas dari kampus. 

Awalnya saya menyetujui semua yang dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan Ucok dan Umang memang termasuk tindak kriminal yang teramat serius. Karena menurut KUHP tindakan mereka bisa saja mendapat hukuman 6 tahun penjara. Saya memahami situasi ini dan maklum atas keputusan Bu Mus untuk mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena kecewa berat. Saya mencoba berempati.

Namun semakin lama apa yang disampaikan Bu Mus semakin cenderung menyerang secara personal kepada Ucok dan Umang. Saya mulai tidak nyaman dengan obrolan itu. "Ucok dan Umang memang alim, pintar, juga pendiam tapi bagi saya semua anggapan itu sudah berubah. Mereka seperti penjahat kelas kakap. Memang banyak orang di dunia ini yang pintar. Tapi kita tidak tahu dia pintar dalam hal apa. Bisa jadi pintar nipu." Demikian Bu Mus meneruskan percakapan itu. Saya semakin tidak nyaman.

Saya meneruskan pembicaraan tadi. "Saya termasuk kawan yang juga turut mengikuti proses Ucok dan Umang hingga sejauh ini. Mulai tahap sidang proposal dan sampai di tahap revisi sejauh ini. Saya menghargai mereka karena saya tahu mereka saat itu kesulitan mendapat judul dan sampai pada tahap ini adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi. Saya juga tahu keadaan Ibu saat itu juga sedang drop dan tentu menunggu judul yang sudah dijanjikan oleh pembimbing hingga jelang sidang proposal bukanlah hal yang mudah."

"Saya mencoba berempati kepada Ibu juga kepada mereka. Saya sangat setuju apabila Ibu menyalahkan mereka karena tindakannya, karena saya juga mengutuk perbuatan itu. Tapi maaf Bu, saya tidak bisa menerima apabila Ibu menyerang mereka secara personal dengan mengatakan hal-hal seperti yang Ibu katakan tadi." Kelas semakin lengang dan fokus menatap saya. Ucok dan Umang turut memperhatikan. 

"Kita bisa lihat tembok di depan kita, apabila tembok ini pertama kali dibangun oleh tukang bangunan dan ada satu batu bata saja yang miring tentu kita akan langsung menyalahkan si tukang itu. Wah tukangnya gak pinter nih, tukangnya udah dibayar mahal-mahal tapi gak becus. Barangkali seperti itu sikap kita. Tapi kita lupa satu hal bahwa diantara satu batu bata yang miring itu masih ada ratusan batu bata yang berdiri kokoh. Kita terlalu fokus pada keburukan orang lain hingga lupa pada kebaikan yang semestinya diapresiasi." demikian saya melanjutkan.

"Alangkah baiknya kalau Ibu menyampaikan pendapat yang apabila ditujukan secara personal disampaikan empat mata saja. Karena menurut saya menjelek-jelekkan seseorang di depan umum bukanlah hal yang bijak. Kalau toh sebagai pengalaman agar tidak terulang lagi maka cukup mengutuk perbuatannya tidak perlu pada personalnya." Saya fokus menyampaikan pendapat pada Bu Mus.

Sejurus kemudian Bu Mus menyanggah menyampaikan apa-apa yang menurutnya benar. Saya paham itu, beliau terlalu kecewa dan sampai pada tahap membenci. Apakah pendapat dan saran saya ditolak mentah-mentah? Entahlah saya tidak paham itu. Seperti kata John F Kennedy, alangkah baiknya sebagai manusia kita menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan. Karena mengutuk gelap tak akan merubah apapun, namun menyalakan satu lilin akan menerangi kegelapan-kegelapan itu. 

Eki Lesmana

*cerita ini mungkin saja sama dengan kejadian-kejadian kecil di sekitar kita, maaf apabila ada kesamaan nama. 

0 komentar:

Posting Komentar